Senin, 31 Mei 2010

AD/ART OSIS

ANGGARAN DASAR
DAN
ANGGARAN RUMAH TANGGA






























ORGANISASI SISWA INTRA SEKOLAH ( OSIS )
SLTP NEGERI 1 CILEDUG


Alamat : Jalan Merdeka Utara No. 130 Telepon 661490 Ciledug Kab. Cirebon

SLTP NEGERI 1 CILEDUG
ORGANISASI SISWA INTRA SEKOLAH ( OSIS )
Alamat : Jalan Merdeka Utara Nomor 130 Telepon 661490 Ciledug Kab. Cirebon

ANGGARAN DASAR OSIS SLTP NEGERI 1 CILEDUG

BAB I
NAMA,WAKTU DAN TEMPAT KEDUDUKAN

Pasal 1

Organisasi ini bernama Organisasi Siswa Intra Sekolah

Pasal 2

Organisasi ini didirikan untuk waktu yang tidak ditentukan

Pasal 3

Organisasi ini berkedudukan di SLTP Negeri 1 Ciledug Kecamatan Ciledug Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat dengan alamat: Jalan Merdeka Utara Nomor 130 (Kota) Ciledug (Kode Pos) 45188.
BAB II
ASAS, TUJUAN DAN SIFAT

Pasal 4

Organisasi ini berdasarkan Pancasila
Pasal 5

Organisasi ini bertujuan mempersiapkan siswa sebagai kader penerus cita-cita perjuangan pembangunan bangsa, guna :
a. meningkatkan keimanan dan ketaqwaan Tuhan Yang Maha Esa dan budi pekerti luhur;
b. meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ;
c. meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani;
d. memantapkan kepribadian dan mandiri;serta
e. mempertebal rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan

Pasal 6

(1) Organisasi ini bersifat intra sekolah, dan merupakan satu-satunya organisasi siswa yang sah di sekolah sebagai wadah siswa berorganisasi dan menampung seluruh kegiatan siswa, serta tidak ada hubungan Oraganisatoris dengan OSIS di sekolah lain, dan /atau tidak menjadi bagian dari organisasi lain di luar sekolah.
(2) Organisasi ini hanya berhak mewakili siswa dari sekolah yang bersangkutan.

BAB III
KEANGGOTAN DAN KEUANGAN

Pasal 7

(1) Anggota organisasi ini secara otomatis adalah siswa yang masih aktif belajar pada sekolah ini.
(2) Anggota organisasi ini tidak memerlukan kartu anggota.
(3) Keanggotaan berakhir apabila siswa yang bersangkutan tidak menjadi siswa lagi di sekolah ini, atau
meninggal dunia.


Pasal 8

Keuangan organisasi ini diperoleh dari dana yang disedoiakan oleh sekolah, dan sumbangan yang tidak mengikat serta usaha lain yang sah.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN ANGGOTA

Pasal 9

(1) Setiap Anggota mempunyai hak :
a. Mendapatkan perlakuan yang sama sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya;
b. memilih dan dipilih sebagai perwakilanb kelas atau pengurus;
c. berbicara secara lisan maupun tertulis.
(2) Setiap Anggota berkewajiban untuk :
a. memelihara nama baik dan kehormatan sekolah;
b. mematuhi peraturan dan tata tertib sekolah;
c. menghormati tenaga pendidikan;
d. memelihara sarana dan prasarana seryta keamanan, kebersihan, ketertiban, keindahan dan
kekeluargaan di sekolahnya.

BAB V
PERANGKAT OSIS

Pasal 10

(1) Perangkat OSIS terdiri dari :
a. Pembina OSIS;
b. Perwakilan Kelas;
c. Pengurus OSIS.
(2) Pembina terdiri dari :
a. Kepala Sekolah/Wakil Kepala Sekolah sebagai Ketua/Wakil Ketua;
b. Guru sebagai anggota, sedikitnya 5 (lima) orang,diatur secara bergantian setiap tahun ajaran.
(3) Perwakilan Kelas Terdiri dari :
a. Wakil-wakil setiap kelas;
b. etiap kelas diwakili oleh 2 (dua) orang siswa.
(4) Pengurus OSIS terdiri dari :
a. Ketua;
b. Wakil Ketua I;
c. Wakil Ketua II;
d. Sekretaris;
e. Wakil Sekretaris I;
f. Wakil Sekretaris II;
g. Bendahara;
h.Wakil Bendahara;
I. Seksi Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
j. Seksi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara;
k. Seksi Pendidikan Pendahuluan Bela Negara;
l. Seksi Kepribadian dan Budi Pekerti Luhur;
m. Seksi Berorganisasi,Pendidikan Politik dan Kepemimpinan;
n. Seksi Keterampilan dan Kewiraswstaan;
o. Seksi Persepsi, Apresiasi dan Kreasi Seni;
p. Seksi Kesegaran Jasmani dan Daya Kreasi







BAB VI
MASA JABATAN

Pasal 11

Masa jabatan anggota perwakilan kelas dan pengurus selama satu tahun, dimulai dari awal tahun ajaran dan berakhir pada akhir tahun ajaran.

BAB VII
PENUTUP

Pasal 12

(1) Hal-hal yang belum diatur dalan Anggaran Dasar ini, akan diatur lebih lanjut dalam Anggaran
Rumah Tangga, atau peraturan lain yang sah.
(2) Anggaran Rumah Tangga mengatur lebih rinci hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Dasar.
(3) Anggaran Rumah Tangga disusun oleh masing-masing sekolah, dan disusun berdasarkan Anggaran
Dasar.



DITETAPKAN DI : CILEDUG
PADA TANGGAL : 01 September 2001
KETUA MPK,



HADDI WIJAYA KUSUMA

AD/ART Muhammadiyah

ANGGARAN DASAR
PERSYARIKATAN MUHAMMADIYAH
MUQADDIMAH




Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah yang mengasuh alam, yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang memegang pengadilan pada hari kemudian. Hanya kepada Engkaulah hamba menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Berilah petunjuk kepada hamba akan jalan yang lempang, jalan orang-orang yang telah Engkau beri kenikmatan, yang tidak dimurkai dan tidak tersesat.

"Saya ridla: Ber-Tuhan kepada ALLAH, ber-Agama kepada ISLAM dan ber-Nabi kepada MUHAMMAD RASULULLAH Shalallahu 'alaihi wassalam ".
AMMA BAD'U, bahwa sesungguhnya ke-Tuhanan itu adalah hak Allah semata-mata. Ber-Tuhan dan ber'ibadah serta tunduk dan tha'at kepada Allah adalah satu-satunya ketentuan yang wajib atas tiap-tiap makhluk, terutama manusia.
Hidup bermasyarakat itu adalah sunnah (hukum qudrat iradat) Allah atas kehidupan manusia di dunia ini.
Masyarakat yang sejahtera, aman damai, makmur dan bahagia hanyalah dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong-royong, bertolong-tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas dari pengaruh syaitan dan hawa nafsu.
Agama Allah yang dibawa dan diajarkan oleh sekalian Nabi yang bijaksana dan berjiwa suci, adalah satu-satunya pokok hukum dalam masyarakat yang utama dan sebaik-baiknya.
Menjunjung tinggi hukum Allah lebih daripada hukum yang manapun juga, adalah kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang yang mengaku ber-Tuhan kepada Allah.
Agama Islam adalah Agama Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi,sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw, dan diajarkan kepada umatnya masing-masing untuk mendapatkan hidup bahagia Dunia dan Akhirat.
Syahdan, untuk menciptakan masyarakat yang bahagia dan sentausa sebagai yang tersebut di atas itu, tiap-tiap orang, terutama umat Islam, umat yang percaya akan Allah dan Hari Kemudian, wajiblah mengikuti jejak sekalian Nabi yang suci: beribadah kepada Allah dan berusaha segiat-giatnya mengumpulkan segala kekuatan dan menggunakannya untuk menjelmakan masyarakat itu di Dunia ini, dengan niat yang murni-tulus dan ikhlas karena Allah semata-mata dan hanya mengharapkan karunia Allah dan ridha-Nya belaka, serta mempunyai rasa tanggung jawab di hadirat Allah atas segala perbuatannya, lagi pula harus sabar dan tawakal bertabah hati menghadapi segala kesukaran atau kesulitan yang menimpa dirinya, atau rintangan yang menghalangi pekerjaannya, dengan penuh pengharapan perlindungan dan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa.
Untuk melaksanakan terwujudnya masyarakat yang demikian itu, maka dengan berkat dan rahmat Allah didorong oleh firman Allah dalam Al-Qur'an:

Adakanlah dari kamu sekalian, golongan yang mengajak kepada ke-Islaman, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah daripada keburukan. Mereka itulah golongan yang beruntung berbahagia " (AlQur'an, S. Ali-Imran:104).
Pada tanggal 8 Dzulhiijah 1330 Hijriyah atau 18 November 1912 Miladiyah, oleh almarhum KHA. Dahlan didirikan suatu persyarikatan sebagai "gerakan Islam" dengan nama "MUHAMMADIYAH" yang disusun dengan Majelis-Majelis (Bahagian-bahagian)-nya, mengikuti pererdaan zaman serta bersdaarkan "syura" yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan atau Muktamar.
Kesemuanya itu. perlu untuk menunaikan kewajiban mengamalkan perintah-perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw., guna menpat karunia dan ridla-Nya di dunia dan akhirat, dan untuk mencapai masyarakat yang sentausa dan bahagia, disertai nikmat dan rahmat Allah yang melimpah-limpah, sehingga. merupakan:

"Suatu negara yang indah, bersih suci dan makmur di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Pengampun".
Maka dengan Muhammadiyah ini, mudah-mudahan ummat Islam dapatlah diantarkan ke pintu gerbang Syurga "Jannatun Na'im" dengan keridlaan Allah Yang Rahman dan Rahim.

Anggaran Dasar Muhammadiyah

BAB I
NAMA, PENDIRI, DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Pasal 1
Nama
Persyarikatan ini bernama Muhammadiyah.
Pasal 2
Pendiri
Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta untuk jangka waktu tidak terbatas.
Pasal 3
Tempat Kedudukan
Muhammadiyah berkedudukan di Yogyakarta.
BAB II
IDENTITAS, ASAS, DAN LAMBANG
Pasal 4
Identitas dan Asas
(1) Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah.
(2) Muhammadiyah berasas Islam.
Pasal 5
Lambang
Lambang Muhammadiyah adalah matahari bersinar utama dua belas, di tengah bertuliskan (Muhammadiyah) dan dilingkari kalimat (Asyhadu an lã ilãha illa Allãh wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allãh )

BAB III
MAKSUD DAN TUJUAN SERTA USAHA
Pasal 6
Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Pasal 7
Usaha
(1) Untuk mencapai maksud dan tujuan, Muhammadiyah melaksanakan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan.
(2) Usaha Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan, yang macam dan penyelenggaraannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
(3) Penentu kebijakan dan penanggung jawab amal usaha, program, dan kegiatan adalah Pimpinan Muhammadiyah.
BAB IV
KEANGGOTAAN
Pasal 8
Anggota serta Hak dan Kewajiban
(1) Anggota Muhammadiyah terdiri atas:
a. Anggota Biasa ialah warga negara Indonesia beragama Islam.
b. Anggota Luar Biasa ialah orang Islam bukan warga negara Indonesia.
c. Anggota Kehormatan ialah perorangan beragama Islam yang berjasa terhadap Muhammadiyah dan atau karena kewibawaan dan keahliannya bersedia membantu Muhammadiyah.
(2) Hak dan kewajiban serta peraturan lain tentang keanggotaan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB V
SUSUNAN DAN PENETAPAN ORGANISASI
Pasal 9
Susunan Organisasi
Susunan organisasi Muhammadiyah terdiri atas:
1. Ranting ialah kesatuan anggota dalam satu tempat atau kawasan
2. Cabang ialah kesatuan Ranting dalam satu tempat
3. Daerah ialah kesatuan Cabang dalam satu Kota atau Kabupaten
4. Wilayah ialah kesatuan Daerah dalam satu Propinsi
5. Pusat ialah kesatuan Wilayah dalam Negara
Pasal 10
Penetapan Organisasi
(1) Penetapan Wilayah dan Daerah dengan ketentuan luas lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
(2) Penetapan Cabang dengan ketentuan luas lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah.
(3) Penetapan Ranting dengan ketentuan luas lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan Daerah.
(4) Dalam hal-hal luar biasa Pimpinan Pusat dapat mengambil ketetapan lain.
BAB VI
PIMPINAN
Pasal 11
Pimpinan Pusat
(1) Pimpinan Pusat adalah pimpinan tertinggi yang memimpin Muhammadiyah secara keseluruhan.
(2) Pimpinan Pusat terdiri atas sekurang-kurangnya tiga belas orang, dipilih dan ditetapkan oleh Muktamar untuk satu masa jabatan dari calon-calon yang diusulkan oleh Tanwir.
(3) Ketua Umum Pimpinan Pusat ditetapkan oleh Muktamar dari dan atas usul anggota Pimpinan Pusat terpilih.
(4) Anggota Pimpinan Pusat terpilih menetapkan Sekretaris Umum dan diumumkan dalam forum Muktamar.
(5) Pimpinan Pusat dapat menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada Tanwir.
(6) Pimpinan Pusat diwakili oleh Ketua Umum atau salah seorang Ketua bersama-sama Sekretaris Umum atau salah seorang Sekretaris, mewakili Muhammadiyah untuk tindakan di dalam dan di luar pengadilan.
Pasal 12
Pimpinan Wilayah
(1) Pimpinan Wilayah memimpin Muhammadiyah dalam wilayahnya serta melaksanakan kebijakan Pimpinan Pusat.
(2) Pimpinan Wilayah terdiri atas sekurang-kurangnya sebelas orang ditetapkan oleh Pimpinan Pusat untuk satu masa jabatan dari calon-calon yang dipilih dalam Musyawarah Wilayah.
(3) Ketua Pimpinan Wilayah ditetapkan oleh Pimpinan Pusat dari dan atas usul calon-calon anggota Pimpinan Wilayah terpilih yang telah disahkan oleh Musyawarah Wilayah.
(4) Pimpinan Wilayah dapat menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada Musyawarah Pimpinan Wilayah yang kemudian dimintakan ketetapan Pimpinan Pusat.
Pasal 13
Pimpinan Daerah
(1) Pimpinan Daerah memimpin Muhammadiyah dalam daerahnya serta melaksanakan kebijakan Pimpinan di atasnya.
(2) Pimpinan Daerah terdiri atas sekurang-kurangnya sembilan orang ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah untuk satu masa jabatan dari calon-calon anggota Pimpinan Daerah yang telah dipilih dalam Musyawarah Daerah.
(3) Ketua Pimpinan Daerah ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah dari dan atas usul calon-calon anggota Pimpinan Daerah terpilih yang telah disahkan oleh Musyawarah Daerah.
(4) Pimpinan Daerah dapat menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada Musyawarah Pimpinan Daerah yang kemudian dimintakan ketetapan Pimpinan Wilayah.
Pasal 14
Pimpinan Cabang
(1) Pimpinan Cabang memimpin Muhammadiyah dalam Cabangnya serta melaksanakan kebijakan Pimpinan di atasnya.
(2) Pimpinan Cabang terdiri atas sekurang-kurangnya tujuh orang ditetapkan oleh Pimpinan Daerah untuk satu masa jabatan dari calon-calon yang dipilih dalam Musyawarah Cabang.
(3) Ketua Pimpinan Cabang ditetapkan oleh Pimpinan Daerah dari dan atas usul calon-calon anggota Pimpinan Cabang terpilih yang telah disahkan oleh Musyawarah Cabang.
(4) Pimpinan Cabang dapat menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada Musyawarah Pimpinan Cabang yang kemudian dimintakan ketetapan Pimpinan Daerah.
Pasal 15
Pimpinan Ranting
(1) Pimpinan Ranting memimpin Muhammadiyah dalam Rantingnya serta melaksanakan kebijakan Pimpinan di atasnya.
(2) Pimpinan Ranting terdiri atas sekurang-kurangnya lima orang ditetapkan oleh Pimpinan Cabang untuk satu masa jabatan dari calon-calon yang dipilih dalam Musyawarah Ranting.
(3) Ketua Pimpinan Ranting ditetapkan oleh Pimpinan Cabang dari dan atas usul calon-calon anggota Pimpinan Ranting terpilih yang telah disahkan oleh Musyawarah Ranting.
(4) Pimpinan Ranting dapat menambah anggotanya apabila dipandang perlu dengan mengusulkannya kepada Musyawarah Pimpinan Ranting yang kemudian dimintakan ketetapan Pimpinan Cabang.
Pasal 16
Pemilihan Pimpinan
(1) Anggota Pimpinan terdiri atas anggota Muhammadiyah.
(2) Pemilihan dapat dilakukan secara langsung atau formatur.
(3) Syarat anggota Pimpinan dan cara pemilihan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 17
Masa Jabatan Pimpinan
(1) Masa jabatan Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting lima tahun.
(2) Jabatan Ketua Umum Pimpinan Pusat, Ketua Pimpinan Wilayah, Ketua Pimpinan Daerah, masing-masing dapat dijabat oleh orang yang sama dua kali masa jabatan berturut-turut.
(3) Serah-terima jabatan Pimpinan Pusat dilakukan pada saat Muktamar telah menetapkan Pimpinan Pusat baru. Sedang serah-terima jabatan Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting dilakukan setelah disahkan oleh Pimpinan di atasnya.
Pasal 18
Ketentuan Luar Biasa
Dalam hal-hal luar biasa yang terjadi berkenaan dengan ketentuan pada pasal 12 sampai dengan pasal 17, Pimpinan Pusat dapat mengambil ketetapan lain.
Pasal 19
Penasihat
(1) Pimpinan Muhammadiyah dapat mengangkat penasihat.
(2) Ketentuan tentang penasihat diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB VII
UNSUR PEMBANTU PIMPINAN
Pasal 20
Majelis dan Lembaga
(1) Unsur Pembantu Pimpinan terdiri atas Majelis dan Lembaga.
(2) Majelis adalah Unsur Pembantu Pimpinan yang menjalankan sebagian tugas pokok Muhammadiyah.
(3) Lembaga adalah Unsur Pembantu Pimpinan yang menjalankan tugas pendukung Muhammadiyah.
(4) Ketentuan tentang tugas dan pembentukan Unsur Pembantu Pimpinan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB VIII
ORGANISASI OTONOM
Pasal 21
Pengertian dan Ketentuan
(1) Organisasi Otonom ialah satuan organisasi di bawah Muhammadiyah yang memiliki wewenang mengatur rumah tangganya sendiri, dengan bimbingan dan pembinaan oleh Pimpinan Muhammadiyah.
(2) Organisasi Otonom terdiri atas organisasi otonom umum dan organisasi otonom khusus.
(3) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Otonom disusun oleh organisasi otonom masing-masing berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah.
(4) Pembentukan dan pembubaran Organisasi Otonom ditetapkan oleh Tanwir.
(5) Ketentuan lain mengenai organisasi otonom diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB IX
PERMUSYAWARATAN
Pasal 22
Muktamar
(1) Muktamar ialah permusyawaratan tertinggi dalam Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Pusat.
(2) Anggota Muktamar terdiri atas:
a. Anggota Pimpinan Pusat
b. Ketua Pimpinan Wilayah
c. Anggota Tanwir Wakil Wilayah
d. Ketua Pimpinan Daerah
e. Wakil Daerah yang dipilih oleh Musyawarah Pimpinan Daerah, terdiri atas wakil Cabang berdasarkan perimbangan jumlah Cabang dalam tiap Daerah
f. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Pusat.
(3) Muktamar diadakan satu kali dalam lima tahun.
(4) Acara dan ketentuan lain tentang Muktamar diatur dalam Anggaran Rumah Tangga
Pasal 23
Muktamar Luar Biasa
(1) Muktamar Luar Biasa ialah muktamar darurat disebabkan oleh keadaan yang membahayakan Muhammadiyah dan atau kekosongan kepemimpinan, sedang Tanwir tidak berwenang memutuskannya.
(2) Muktamar Luar Biasa diadakan oleh Pimpinan Pusat atas keputusan Tanwir..
(3) Ketentuan mengenai Muktamar Luar Biasa diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 24
Tanwir
(1) Tanwir ialah permusyawaratan dalam Muhammadiyah di bawah Muktamar, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Pusat.
(2) Anggota Tanwir terdiri atas:
a. Anggota Pimpinan Pusat
b. Ketua Pimpinan Wilayah
c. Wakil Wilayah
d. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Pusat
(3) Tanwir diadakan sekurang-kurangnya tiga kali selama masa jabatan Pimpinan.
(4) Acara dan ketentuan lain tentang Tanwir diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 25
Musyawarah Wilayah
(1) Musyawarah Wilayah ialah permusyawaratan Muhammadiyah dalam Wilayah, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Wilayah.
(2) Anggota Musyawarah Wilayah terdiri atas:
a. Anggota Pimpinan Wilayah
b. Ketua Pimpinan Daerah
c. Anggota Musyawarah Pimpinan Wilayah Wakil Daerah
d. Ketua Pimpinan Cabang
e. Wakil Cabang yang dipilih oleh Musyawarah Pimpinan Cabang yang jumlahnya ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah atas dasar perimbangan jumlah Ranting dalam tiap Cabang
f. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Wilayah
(3) Musyawarah Wilayah diadakan satu kali dalam lima tahun.
(4) Acara dan ketentuan lain tentang Musyawarah Wilayah diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 26
Musyawarah Daerah
(1) Musyawarah Daerah ialah permusyawaratan Muhammadiyah dalam Daerah, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Daerah.
(2) Anggota Musyawarah Daerah terdiri atas:
a. Anggota Pimpinan Daerah
b. Ketua Pimpinan Cabang
c. Anggota Musyawarah Pimpinan Daerah Wakil Cabang
d. Ketua Pimpinan Ranting
e. Wakil Ranting yang dipilih oleh Musyawarah Pimpinan Ranting yang jumlahnya ditetapkan oleh Pimpinan Daerah atas dasar perimbangan jumlah anggota
f. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Daerah
(3) Musyawarah Daerah diadakan satu kali dalam lima tahun.
(4) Acara dan ketentuan lain tentang Musyawarah Daerah diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 27
Musyawarah Cabang
(1) Musyawarah Cabang ialah permusyawaratan Muhammadiyah dalam Cabang, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Cabang.
(2) Anggota Musyawarah Cabang terdiri atas:
a. Anggota Pimpinan Cabang
b. Ketua Pimpinan Ranting
c. Anggota Musyawarah Pimpinan Cabang Wakil Ranting
d. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Cabang
(3) Musyawarah Cabang diadakan satu kali dalam lima tahun.
(4) Acara dan ketentuan lain tentang Musyawarah Cabang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 28
Musyawarah Ranting
(1) Musyawarah Ranting ialah permusyawaratan Muhammadiyah dalam Ranting, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Ranting.
(2) Anggota Musyawarah Ranting terdiri atas:
a. Anggota Muhammadiyah dalam Ranting
b. Wakil Organisasi Otonom tingkat Ranting
(3) Musyawarah Ranting diadakan satu kali dalam lima tahun.
(4) Acara dan ketentuan lain tentang Musyawarah Ranting diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 29
Musyawarah Pimpinan
(1) Musyawarah Pimpinan ialah permusyawaratan Pimpinan dalam Muhammadiyah pada tingkat Wilayah sampai dengan Ranting yang berkedudukan di bawah Musyawarah pada masing-masing tingkat.
(2) Musyawarah Pimpinan diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Muhammadiyah masing-masing tingkat.
(3) Acara dan ketentuan lain mengenai Musyawarah Pimpinan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 30
Keabsahan Musyawarah
Musyawarah tersebut dalam pasal 22 sampai dengan pasal 29 kecuali pasal 23 dinyatakan sah apabila dihadiri oleh dua pertiga anggotanya yang telah diundang secara sah oleh Pimpinan Muhammadiyah di tingkat masing-masing.
Pasal 31
Keputusan Musyawarah
Keputusan Musyawarah tersebut dalam pasal 22 sampai dengan pasal 29 kecuali pasal 23 diusahakan dengan cara mufakat. Apabila keputusan secara mufakat tidak tercapai maka dilakukan pemungutan suara dengan suara terbanyak mutlak.
BAB X
RAPAT
Pasal 32
Rapat Pimpinan
(1) Rapat Pimpinan ialah rapat dalam Muhammadiyah di tingkat Pusat, Wilayah, dan Daerah, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Muhammadiyah apabila diperlukan.
(2) Rapat Pimpinan membicarakan masalah kebijakan organisasi.
(3) Ketentuan lain mengenai Rapat Pimpinan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 33
Rapat Kerja
(1) Rapat Kerja ialah rapat yang diadakan untuk membicarakan segala sesuatu yang menyangkut amal usaha, program dan kegiatan organisasi.
(2) Rapat Kerja dibedakan dalam dua jenis yaitu Rapat Kerja Pimpinan dan Rapat Kerja Unsur Pembantu Pimpinan.
(3) Rapat Kerja Pimpinan pada tiap tingkat diadakan sekurang-kurangnya satu kali dalam satu tahun.
(4) Rapat Kerja Unsur Pembantu Pimpinan diadakan dua kali dalam satu masa jabatan.
(5) Ketentuan mengenai masing-masing jenis Rapat Kerja diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 34
Tanfidz
(1) Tanfidz adalah pernyataan berlakunya keputusan Muktamar, Tanwir, Musyawarah, dan Rapat yang dilakukan oleh Pimpinan Muhammadiyah masing-masing tingkat.
(2) Keputusan Muktamar, Tanwir, Musyawarah, dan Rapat berlaku sejak ditanfidzkan oleh Pimpinan Muhammadiyah masing-masing tingkat.
(3) Tanfidz keputusan Muktamar, Tanwir, Musyawarah, dan Rapat semua tingkat
a. Bersifat redaksional
b. Mempertimbangkan kemaslahatan
c. Tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
BAB XI
KEUANGAN DAN KEKAYAAN
Pasal 35
Pengertian
Keuangan dan kekayaan Muhammadiyah adalah semua harta benda yang diperoleh dari sumber yang sah dan halal serta digunakan untuk kepentingan pelaksanaan amal usaha, program, dan kegiatan Muhammadiyah.
Pasal 36
Sumber
Keuangan dan kekayaan Muhammadiyah diperoleh dari:
1. Uang Pangkal, Iuran, dan Bantuan
2. Hasil hak milik Muhammadiyah
3. Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf, Wasiat, dan Hibah
4. Usaha-usaha perekonomian Muhammadiyah
5. Sumber-sumber lain

Pasal 37
Pengelolaan dan Pengawasan
Ketentuan mengenai pengelolaan dan pengawasan keuangan dan kekayaan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB XII
LAPORAN
Pasal 38
Laporan
(1) Pimpinan Muhammadiyah semua tingkat wajib membuat laporan perkembangan organisasi dan laporan pertanggungjawaban keuangan serta kekayaan, disampaikan kepada Musyawarah Pimpinan, Musyawarah tingkat masing-masing, Tanwir, dan Muktamar.
(2) Ketentuan lain tentang laporan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB XIII
ANGGARAN RUMAH TANGGA
Pasal 39
Anggaran Rumah Tangga
(1) Anggaran Rumah Tangga menjelaskan dan mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam Anggaran Dasar.
(2) Anggaran Rumah Tangga dibuat oleh Pimpinan Pusat berdasarkan Anggaran Dasar dan disahkan oleh Tanwir.
(3) Dalam keadaan yang sangat memerlukan perubahan, Pimpinan Pusat dapat mengubah Anggaran Rumah Tangga dan berlaku sampai disahkan oleh Tanwir.
BAB XIV
PEMBUBARAN
Pasal 40
Pembubaran
(1) Pembubaran Muhammadiyah hanya dapat dilakukan dalam Muktamar Luar Biasa yang diselenggarakan khusus untuk keperluan itu atas usul Tanwir.
(2) Muktamar Luar Biasa yang membicarakan usul Tanwir tentang pembubaran dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat dari jumlah anggota Muktamar Luar Biasa.
(3) Keputusan pembubaran diambil sekurang-kurangnya tiga perempat dari yang hadir.
(4) Muktamar Luar Biasa memutuskan segala hak milik Muhammadiyah diserahkan untuk kepentingan kemaslahatan umat Islam setelah Muhammadiyah dinyatakan bubar.

BAB XV
PERUBAHAN
Pasal 41
Perubahan Anggaran Dasar
(1) Perubahan Anggaran Dasar ditetapkan oleh Muktamar.
(2) Rencana perubahan Anggaran Dasar diusulkan oleh Tanwir dan harus sudah tercantum dalam acara Muktamar.
(3) Perubahan Anggaran Dasar dinyatakan sah apabila diputuskan oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota Muktamar yang hadir
BAB XVI
PENUTUP
Pasal 42
Penutup
(1) Anggaran Dasar ini ini telah disahkan dan ditetapkan oleh Muktamar ke-45 yang berlangsung pada tanggal 26 Jumadil Awal s.d. 1 Jumadil Akhir 1426 H bertepatan dengan tanggal 3 s.d. 8 Juli 2005 M. di Malang, dan dinyatakan mulai berlaku sejak ditanfidzkan.
(2) Setelah Anggaran Dasar ini ditetapkan, Anggaran Dasar sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah

Pasal 1
Tempat Kedudukan
(1) Muhammadiyah berkedudukan di tempat didirikannya, yaitu Yogyakarta
(2) Pimpinan Pusat sebagai pimpinan tertinggi memimpin Muhammadiyah secara keseluruhan dan menyelenggarakan aktivitasnya di dua kantor, Yogyakarta dan Jakarta
Pasal 2
Lambang dan Bendera
(1) Lambang Muhammadiyah sebagai tersebut dalam Anggaran Dasar pasal 5 adalah seperti berikut:

(2) Bendera Muhammadiyah berbentuk persegi panjang berukuran dua berbanding tiga bergambar lambang Muhammadiyah di tengah dan tulisan MUHAMMADIYAH di bawahnya, berwarna dasar hijau dengan tulisan dan gambar berwarna putih, seperti berikut:

(3) Ketentuan lain tentang lambang dan bendera ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
Pasal 3
U s a h a
Usaha Muhammadiyah yang diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan meliputi:
1. Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman, meningkatkan pengamalan, serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan.
2. Memperdalam dan mengembangkan pengkajian ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya.
3. Meningkatkan semangat ibadah, jihad, zakat, infak, wakaf, shadaqah, hibah, dan amal shalih lainnya.
4. Meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas sumberdaya manusia agar berkemampuan tinggi serta berakhlaq mulia.
5. Memajukan dan memperbaharui pendidikan dan kebudayaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta meningkatkan penelitian.
6. Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke arah perbaikan hidup yang berkualitas
7. Meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
8. Memelihara, mengembangkan, dan mendayagunakan sumberdaya alam dan lingkungan untuk kesejahteraan.
9. Mengembangkan komunikasi, ukhuwah, dan kerjasama dalam berbagai bidang dan kalangan masyarakat dalam dan luar negeri.
10. Memelihara keutuhan bangsa serta berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
11. Membina dan meningkatkan kualitas serta kuantitas anggota sebagai pelaku gerakan.
12. Mengembangkan sarana, prasarana, dan sumber dana untuk mensukseskan gerakan.
13. Mengupayakan penegakan hukum, keadilan, dan kebenaran serta meningkatkan pembelaan terhadap masyarakat.
14. Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah
Pasal 4
Keanggotaan
(1) Anggota Biasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia beragama Islam
b. Laki-laki atau perempuan berumur 17 tahun atau sudah menikah
c. Menyetujui maksud dan tujuan Muhammadiyah
d. Bersedia mendukung dan melaksanakan usaha-usaha Muhammadiyah
e. Mendaftarkan diri dan membayar uang pangkal.
(2) Anggota Luar Biasa ialah seseorang bukan warga negara Indonesia, beragama Islam, setuju dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah serta bersedia mendukung amal usahanya.
(3) Anggota Kehormatan ialah seseorang beragama Islam, berjasa terhadap Muhammadiyah dan atau karena kewibawaan dan keahliannya diperlukan atau bersedia membantu Muhammadiyah.
(4) Tatacara menjadi anggota diatur sebagai berikut:
a. Anggota Biasa
1. Mengajukan permintaan secara tertulis kepada Pimpinan Pusat dengan mengisi formulir disertai kelengkapan syarat-syaratnya melalui Pimpinan Ranting atau Pimpinan amal usaha di tempat yang belum ada Ranting, kemudian diteruskan kepada Pimpinan Cabang.
2. Pimpinan Cabang meneruskan permintaan tersebut kepada Pimpinan Pusat dengan disertai pertimbangan.
3. Pimpinan Cabang dapat memberi tanda anggota sementara kepada calon anggota, sebelum yang bersangkutan menerima kartu tanda anggota dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Bentuk tanda anggota sementara ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
4. Pimpinan Pusat memberi kartu tanda anggota Muhammadiyah kepada calon anggota biasa yang telah disetujui melalui Pimpinan Cabang yang bersangkutan
b. Anggota Luar Biasa dan Anggota Kehormatan
Tata cara menjadi Anggota Luar Biasa dan Anggota Kehormatan diatur oleh Pimpinan Pusat
(5) Pimpinan Pusat dapat melimpahkan wewenang penerimaan permintaan menjadi Anggota Biasa dan memberikan kartu tanda anggota Muhammadiyah kepada Pimpinan Wilayah. Pelimpahan wewenang tersebut dan ketentuan pelaksanaannya diatur dengan keputusan Pimpinan Pusat.
(6) Hak Anggota
a. Anggota biasa:
1. Menyatakan pendapat di dalam maupun di luar permusyawaratan.
2. Memilih dan dipilih dalam permusyawaratan.
b. Anggota Luar Biasa dan Anggota Kehormatan mempunyai hak menyatakan pendapat.
(7) Kewajiban Anggota Biasa, Luar Biasa, dan Kehormatan:
a. Taat menjalankan ajaran Islam
b. Menjaga nama baik dan setia kepada Muhammadiyah serta perjuangannya
c. Berpegang teguh kepada Kepribadian serta Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah
d. Taat pada peraturan Muhammadiyah, keputusan musyawarah, dan kebijakan Pimpinan Pusat
e. Mendukung dan mengindahkan kepentingan Muhammadiyah serta melaksanakan usahanya
f. Membayar iuran anggota
g. Membayar infaq
(8) Anggota Biasa, Luar Biasa, dan Kehormatan berhenti karena:
a. Meninggal dunia
b. Mengundurkan diri
c. Diberhentikan oleh Pimpinan Pusat
(9) Tata cara pemberhentian anggota.
a. Anggota Biasa:
1. Pimpinan Cabang mengusulkan pemberhentian anggota kepada Pimpinan Daerah berdasarkan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Pimpinan Daerah meneruskan kepada Pimpinan Wilayah usulan pemberhentian anggota dengan disertai pertimbangan.
3. Pimpinan Wilayah meneruskan atau tidak meneruskan usulan pemberhentian anggota kepada Pimpinan Pusat setelah melakukan penelitian dan penilaian.
4. Pimpinan Wilayah dapat melakukan pemberhentian sementara (skorsing) yang berlaku paling lama 6 (enam) bulan selama menunggu proses pemberhentian anggota dari Pimpinan Pusat,
5. Pimpinan Pusat, setelah menerima usulan pemberhentian anggota, memutuskan memberhentikan atau tidak memberhentikan paling lama 6 (enam) bulan sejak diusulkan oleh Pimpinan Wilayah.
6. Anggota yang diusulkan pemberhentian keanggotaannya, selama proses pengusulan berlangsung, dapat mengajukan keberatan kepada Pimpinan Cabang, Pimpinan Daerah, Pimpinan Wilayah, dan Pimpinan Pusat. Setelah keputusan pemberhentian dikeluarkan, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan kepada Pimpinan Pusat.
7. Pimpinan Pusat membentuk tim yang diserahi tugas mempelajari keberatan yang diajukan oleh anggota yang diberhentikan. Pimpinan Pusat menetapkan keputusan akhir setelah mendengar pertimbangan tim.
8. Keputusan pemberhentian anggota diumumkan dalam Berita Resmi Muhammadiyah.
b. Anggota Luar Biasa dan Kehormatan diberhentikan atas keputusan Pimpinan Pusat.
Pasal 5
Ranting
(1) Ranting adalah kesatuan anggota di suatu tempat atau kawasan yang terdiri atas sekurang-kurangnya 15 orang yang berfungsi melakukan pembinaan dan pemberdayaan anggota.
(2) Syarat pendirian Ranting sekurang-kurangnya mempunyai:
a. Pengajian / kursus anggota berkala, sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan
b. Pengajian / kursus umum berkala, sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan
c. Mushalla / surau / langgar sebagai pusat kegiatan
d. Jama`ah
(3) Pengesahan pendirian Ranting dan ketentuan luas lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan Daerah atas usul anggota setelah mendengar pertimbangan Pimpinan Cabang.
(4) Pendirian suatu Ranting yang merupakan pemisahan dari Ranting yang telah ada dilakukan dengan persetujuan Pimpinan Ranting yang bersangkutan atau atas keputusan Musyawarah Cabang / Musyawarah Pimpinan tingkat Cabang
Pasal 6
Cabang
(1) Cabang adalah kesatuan Ranting di suatu tempat yang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga Ranting yang berfungsi:
a. Melakukan pembinaan, pemberdayaan, dan koordinasi Ranting
b. Penyelenggaraan pengelolaan Muhammadiyah
c. Penyelenggaraan amal usaha
(2) Syarat pendirian Cabang sekurang-kurangnya mempunyai:
a. Pengajian / kursus berkala untuk anggota Pimpinan Cabang dan Unsur Pembantu Pimpinannya, Pimpinan Ranting, serta Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Cabang, sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan
b. Pengajian / kursus muballigh / muballighat dalam lingkungan Cabangnya, sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan
c. Korps muballigh / muballighat Cabang, sekurang-kurangnya 10 orang
d. Taman pendidikan Al-Quran / Madrasah Diniyah / Sekolah Dasar
e. Kegiatan dalam bidang sosial, ekonomi, dan kesehatan
f. Kantor
(3) Pengesahan pendirian Cabang dan ketentuan luas lingkungannya ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah atas usul Ranting setelah memperhatikan pertimbangan Pimpinan Daerah.
(4) Pendirian suatu Cabang yang merupakan pemisahan dari Cabang yang telah ada dilakukan dengan persetujuan Pimpinan Cabang yang bersangkutan atau atas keputusan Musyawarah Daerah / Musyawarah Pimpinan tingkat Daerah.

Pasal 7
Daerah
(1) Daerah adalah kesatuan Cabang di Kabupaten / Kota yang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga Cabang yang berfungsi:
a. Melakukan pembinaan, pemberdayaan, dan koordinasi Cabang
b. Penyelenggaraan, pembinaan, dan pengawasan pengelolaan Muhammadiyah
c. Penyelenggaraan, pembinaan, dan pengawasan amal usaha
d. Perencanaan program dan kegiatan
(2) Syarat pendirian Daerah sekurang-kurangnya mempunyai:
a. Pengajian / kursus berkala untuk anggota Pimpinan Daerah sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan
b. Pengajian / kursus muballigh / muballighat tingkat Daerah sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan
c. Pembahasan masalah agama dan pengembangan pemikiran Islam
d. Korps muballigh / muballighat Daerah, sekurang-kurangnya 20 orang
e. Kursus kader Pimpinan tingkat Daerah
f. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama / Madrasah Tsanawiyah
g. Amal Usaha dalam bidang sosial, ekonomi, dan kesehatan
h. Kantor
(3) Pengesahan pendirian Daerah ditetapkan oleh Pimpinan Pusat atas usul Cabang setelah memperhatikan pertimbangan Pimpinan Wilayah.
(4) Pendirian suatu Daerah yang merupakan pemisahan dari Daerah yang telah ada dilakukan melalui dan atas keputusan Musyawarah Daerah / Musyawarah Pimpinan tingkat Daerah.
Pasal 8
Wilayah
(1) Wilayah adalah kesatuan Daerah di propinsi yang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga Daerah yang berfungsi
a. Pembinaan, pemberdayaan, dan koordinasi Daerah
b. Penyelenggaraan, pembinaan, dan pengawasan pengelolaan Muhammadiyah
c. Penyelenggaraan, pembinaan, dan pengawasan amal usaha
d. Perencanaan program dan kegiatan
(2) Syarat pendirian Wilayah sekurang-kurangnya mempunyai:
a. Pengajian / kursus berkala untuk anggota Pimpinan Wilayah dan Unsur Pembantu Pimpinannya serta Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Wilayah sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan
b. Pengajian / kursus muballigh / muballighat tingkat Wilayah sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan
c. Pembahasan masalah agama dan pengembangan pemikiran Islam
d. Korps muballigh / muballighat sekurang-kurangnya 30 orang.
e. Kursus kader pimpinan tingkat Wilayah
f. Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah / Mu`allimin / Mu`allimat/ Pondok Pesantren
g. Amal Usaha dalam bidang sosial, ekonomi, dan kesehatan
h. Kantor.
(3) Pengesahan pendirian Wilayah ditetapkan oleh Pimpinan Pusat atas usul Daerah yang bersangkutan.
(4) Pendirian suatu Wilayah yang merupakan pemisahan dari Wilayah yang telah ada dilakukan melalui dan atas keputusan Musyawarah Wilayah / Musyawarah Pimpinan tingkat Wilayah.
Pasal 9
Pusat
Pusat adalah kesatuan Wilayah dalam Negara Republik Indonesia yang berfungsi:
a. Melakukan pembinaan, pemberdayaan, dan koordinasi Wilayah
b. Penyelenggaraan, pembinaan, dan pengawasan pengelolaan Muhammadiyah
c. Penyelenggaraan, pembinaan, dan pengawasan amal usaha
d. Perencanaan program dan kegiatan
Pasal 10
Pimpinan Pusat
(1) Pimpinan Pusat bertugas:
a. Menetapkan kebijakan Muhammadiyah berdasarkan keputusan Muktamar dan Tanwir, serta memimpin dan mengendalikan pelaksanaannya
b. Membuat pedoman kerja dan pembagian wewenang bagi para anggotanya
c. Membimbing dan meningkatkan amal usaha serta kegiatan Wilayah
d. Membina, membimbing, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan kegiatan Unsur Pembantu Pimpinan dan Organisasi Otonom tingkat Pusat
(2) Anggota Pimpinan Pusat dapat terdiri dari laki-laki dan perempuan.
(3) Anggota Pimpinan Pusat harus berdomisili di kota tempat kantor Pimpinan Pusat atau di sekitarnya.
(4) Pimpinan Pusat dapat mengusulkan tambahan anggotanya kepada Tanwir sebanyak-banyaknya separuh dari jumlah anggota Pimpinan Pusat terpilih. Selama menunggu keputusan Tanwir, calon tambahan anggota Pimpinan Pusat sudah dapat menjalankan tugasnya atas tanggungjawab Pimpinan Pusat.
(5) Pimpinan Pusat mengusulkan kepada Tanwir calon pengganti Ketua Umum Pimpinan Pusat yang karena sesuatu hal berhenti dalam tenggang masa jabatan. Selama menunggu ketetapan Tanwir, Ketua Umum Pimpinan Pusat dijabat oleh salah seorang Ketua atas keputusan Pimpinan Pusat.
Pasal 11
Pimpinan Wilayah
(1) Pimpinan Wilayah bertugas:
a. Menetapkan kebijakan Muhammadiyah dalam wilayahnya berdasarkan kebijakan Pimpinan Pusat, keputusan Musyawarah Wilayah, Musyawarah Pimpinan tingkat Wilayah, dan Rapat Pimpinan tingkat Wilayah.
b. Memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan / instruksi Pimpinan Pusat dan Unsur Pembantu Pimpinan.
c. Membimbing dan meningkatkan amal usaha serta kegiatan Daerah dalam wilayahnya sesuai dengan kewenangannya
d. Membina, membimbing, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan kegiatan Unsur Pembantu Pimpinan dan Organisasi Otonom tingkat Wilayah
(2) Pimpinan Wilayah berkantor di ibu kota propinsi.
(3) Anggota Pimpinan Wilayah dapat terdiri dari laki-laki dan perempuan.
(4) Anggota Pimpinan Wilayah harus berdomisili di kota tempat kantor Pimpinan Wilayah atau di sekitarnya.
(5) Pimpinan Wilayah menunjuk salah seorang Wakil Ketua untuk ditetapkan sebagai anggota Tanwir apabila Ketua Pimpinan Wilayah tidak dapat menunaikan tugasnya sebagai anggota Tanwir.
(6) Pimpinan Wilayah dapat mengusulkan tambahan anggotanya kepada Musyawarah Pimpinan Wilayah sebanyak-banyaknya separuh dari jumlah anggota Pimpinan Wilayah terpilih, kemudian dimintakan pengesahannya kepada Pimpinan Pusat. Selama menunggu keputusan Musyawarah Pimpinan tingkat Wilayah dan ketetapan dari Pimpinan Pusat, calon tambahan anggota Pimpinan Wilayah sudah dapat menjalankan tugasnya atas tanggungjawab Pimpinan Wilayah.
(7) Pimpinan Wilayah mengusulkan kepada Musyawarah Pimpinan Wilayah calon pengganti Ketua Pimpinan Wilayah yang karena sesuatu hal berhenti dalam tenggang masa jabatan untuk ditetapkan dan dimintakan pengesahannya kepada Pimpinan Pusat. Selama menunggu keputusan Musyawarah Pimpinan tingkat Wilayah dan ketetapan dari Pimpinan Pusat, Ketua Pimpinan Wilayah dijabat oleh salah seorang Wakil Ketua atas keputusan Pimpinan Wilayah.
Pasal 12
Pimpinan Daerah
(1) Pimpinan Daerah bertugas:
a. Menetapkan kebijakan Muhammadiyah dalam Daerahnya berdasarkan kebijakan Pimpinan di atasnya, keputusan Musyawarah Daerah, Musyawarah Pimpinan tingkat Daerah, dan Rapat Pimpinan tingkat Daerah.
b. Memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan / instruksi Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, serta Unsur Pembantu Pimpinannya
c. Membimbing dan meningkatkan amal usaha serta kegiatan Cabang dalam daerahnya sesuai kewenangannya
d. Membina, membimbing, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan kegiatan Unsur Pembantu Pimpinan dan Organisasi Otonom tingkat Daerah
e. Memimpin gerakan dan menjadikan Daerah sebagai pusat administrasi serta pusat pembinaan sumberdaya manusia
(2) Pimpinan Daerah berkantor di ibu kota Kabupaten / Kota.
(3) Anggota Pimpinan Daerah dapat terdiri dari laki-laki dan perempuan.
(4) Anggota Pimpinan Daerah harus berdomisili di Kabupaten / Kotanya.
(5) Pimpinan Daerah menunjuk salah seorang Wakil Ketua untuk ditetapkan sebagai anggota Musyawarah Pimpinan tingkat Wilayah apabila Ketua Pimpinan Daerah tidak dapat menunaikan tugasnya sebagai anggota Musyawarah Pimpinan tingkat Wilayah.
(6) Pimpinan Daerah dapat mengusulkan tambahan anggotanya kepada Musyawarah Pimpinan Daerah sebanyak-banyaknya separuh dari jumlah anggota Pimpinan Daerah terpilih, kemudian dimintakan pengesahannya kepada Pimpinan Wilayah. Selama menunggu keputusan Musyawarah Pimpinan tingkat Daerah dan ketetapan dari Pimpinan Wilayah, calon tambahan anggota Pimpinan Daerah sudah dapat menjalankan tugasnya atas tanggungjawab Pimpinan Daerah.
(7) Pimpinan Daerah mengusulkan kepada Musyawarah Pimpinan Daerah calon pengganti Ketua Pimpinan Daerah yang karena sesuatu hal berhenti dalam tenggang masa jabatan untuk ditetapkan dan dimintakan pengesahannya kepada Pimpinan Wilayah. Selama menunggu keputusan Musyawarah Pimpinan tingkat Daerah dan ketetapan dari Pimpinan Wilayah, Ketua Pimpinan Daerah dijabat oleh salah seorang Wakil Ketua atas keputusan Pimpinan Daerah.
Pasal 13
Pimpinan Cabang
(1) Pimpinan Cabang bertugas:
a. Menetapkan kebijakan Muhammadiyah dalam Cabangnya berdasarkan kebijakan Pimpinan di atasnya, keputusan Musyawarah Cabang, dan Musyawarah Pimpinan tingkat Cabang.
b. Memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan / instruksi Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, serta Unsur Pembantu Pimpinannya
c. Membimbing dan meningkatkan amal usaha serta kegiatan Ranting dalam cabangnya sesuai kewenangannya
d. Membina, membimbing, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan kegiatan Unsur Pembantu Pimpinan dan Organisasi Otonom tingkat Cabang
(2) Anggota Pimpinan Cabang dapat terdiri dari laki-laki dan perempuan.
(3) Anggota Pimpinan Cabang harus berdomisili di Cabangnya.
(4) Pimpinan Cabang menunjuk salah seorang Wakil Ketua untuk ditetapkan sebagai anggota Musyawarah Pimpinan tingkat Daerah apabila Ketua Pimpinan Cabang tidak dapat menunaikan tugasnya sebagai anggota Musyawarah Pimpinan tingkat Daerah.
(5) Pimpinan Cabang dapat mengusulkan tambahan anggotanya kepada Musyawarah Pimpinan Cabang sebanyak-banyaknya separuh dari jumlah anggota Pimpinan Cabang terpilih, kemudian dimintakan pengesahan kepada Pimpinan Daerah. Selama menunggu keputusan Musyawarah Pimpinan tingkat Cabang dan ketetapan dari Pimpinan Daerah, calon tambahan anggota Pimpinan Cabang sudah dapat menjalankan tugasnya atas tanggungjawab Pimpinan Cabang.
(6) Pimpinan Cabang mengusulkan kepada Musyawarah Pimpinan Cabang calon pengganti Ketua Pimpinan Cabang yang karena sesuatu hal berhenti dalam tenggang masa jabatan untuk ditetapkan dan dimintakan pengesahannya kepada Pimpinan Daerah. Selama menunggu keputusan Musyawarah Pimpinan tingkat Cabang dan ketetapan dari Pimpinan Daerah, Ketua Pimpinan Cabang dijabat oleh salah seorang Wakil Ketua atas keputusan Pimpinan Cabang.
Pasal 14
Pimpinan Ranting
(1) Pimpinan Ranting bertugas:
a. Menetapkan kebijakan Muhammadiyah dalam Rantingnya berdasar kebijakan Pimpinan di atasnya, keputusan Musyawarah Ranting, dan Musyawarah Pimpinan tingkat Ranting
b. Memimpin dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan / instruksi Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, serta Unsur Pembantu Pimpinan.
c. Membimbing dan meningkatkan kegiatan anggota dalam rantingnya sesuai dengan kewenangannya
d. Membina, membimbing, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan kegiatan Organisasi Otonom tingkat Ranting
(2) Anggota Pimpinan Ranting dapat terdiri dari laki-laki dan perempuan.
(3) Anggota Pimpinan Ranting harus berdomisili di Rantingnya.
(4) Pimpinan Ranting menunjuk salah seorang Wakil Ketua untuk ditetapkan sebagai anggota Musyawarah Pimpinan tingkat Cabang apabila Ketua Pimpinan Ranting tidak dapat menunaikan tugasnya sebagai anggota Musyawarah Pimpinan tingkat Cabang.
(5) Pimpinan Ranting dapat mengusulkan tambahan anggotanya kepada Musyawarah Pimpinan Ranting sebanyak-banyaknya separuh dari jumlah anggota Pimpinan Ranting terpilih, kemudian dimintakan pengesahannya kepada Pimpinan Cabang. Selama menunggu keputusan Musyawarah Pimpinan tingkat Ranting dan ketetapan dari Pimpinan Cabang, calon tambahan anggota Pimpinan Ranting sudah dapat menjalankan tugasnya atas tanggungjawab Pimpinan Ranting.
(6) Pimpinan Ranting mengusulkan kepada Musyawarah Pimpinan Ranting calon pengganti Ketua Pimpinan Ranting yang karena sesuatu hal berhenti dalam tenggang masa jabatan untuk ditetapkan dan dimintakan pengesahannya kepada Pimpinan Cabang. Selama menunggu keputusan Musyawarah Pimpinan tingkat Ranting dan ketetapan dari Pimpinan Cabang, Ketua Pimpinan Ranting dijabat oleh salah seorang Wakil Ketua atas keputusan Pimpinan Ranting.
Pasal 15
Pemilihan Pimpinan
(1) Syarat anggota Pimpinan Muhammadiyah:
a. Taat beribadah dan mengamalkan ajaran Islam
b. Setia pada prinsip-prinsip dasar perjuangan Muhammadiyah
c. Dapat menjadi teladan dalam Muhammadiyah
d. Taat pada garis kebijakan Pimpinan Muhammadiyah
e. Memiliki kecakapan dan berkemampuan menjalankan tugasnya
f. Telah menjadi anggota Muhammadiyah sekurang-kurangnya satu tahun dan berpengalaman dalam kepemimpinan di lingkungan Muhammadiyah bagi Pimpinan tingkat Daerah, Wilayah dan Pusat
g. Tidak merangkap jabatan dengan pimpinan organisasi politik dan pimpinan organisasi yang amal usahanya sama dengan Muhammadiyah di semua tingkat
h. Tidak merangkap jabatan dengan Pimpinan Muhammadiyah dan amal usahanya, baik vertikal maupun horisontal
(2) Penyimpangan dari ketentuan ayat (1) butir f, g, dan h pasal ini hanya dapat dilakukan atas keputusan Pimpinan Pusat.
(3) Pemilihan Pimpinan dapat dilakukan secara langsung atau formatur atas keputusan Musyawarah masing-masing.
(4) Pelaksanaan pemilihan Pimpinan dilakukan oleh Panitia Pemilihan dengan ketentuan:
a. Panitia Pemilihan Pimpinan Pusat ditetapkan oleh Tanwir atas usul Pimpinan Pusat
b. Panitia Pemilihan Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting ditetapkan oleh Musyawarah Pimpinan atas usul Pimpinan Muhammadiyah pada semua tingkatan
c. Panitia Pemilihan diangkat untuk satu kali pemilihan
(5) Pelaksanaan pemilihan Pimpinan diatur berdasarkan tata tertib Pemilihan dengan ketentuan:
a. Tata-tertib Pemilihan Pimpinan Pusat ditetapkan oleh Tanwir atas usul Pimpinan Pusat
b. Tata-tertib Pemilihan Pimpinan Wilayah, Daerah, Cabang, dan Ranting ditetapkan oleh Musyawarah Pimpinan atas usul Pimpinan Muhammadiyah pada setiap tingkatan
Pasal 16
Masa Jabatan Pimpinan
(1) Masa jabatan Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting sama dengan masa jabatan Pimpinan Pusat.
(2) Pergantian Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang dengan segenap Unsur Pembantu Pimpinannya, serta Pimpinan Ranting, disesuaikan dengan pergantian Pimpinan Pusat dan pelaksanaannya dilakukan setelah Muktamar dan Musyawarah di atasnya.
(3) Pimpinan-pimpinan dalam Muhammadiyah yang telah habis masa jabatannya, tetap menjalankan tugasnya sampai dilakukan serah-terima dengan Pimpinan yang baru.
(4) Setiap pergantian Pimpinan Muhammadiyah harus menjamin adanya peningkatan kinerja, penyegaran, dan kaderisasi pimpinan.
Pasal 17
Ketentuan Luar Biasa
Pimpinan Pusat dalam keadaan luar biasa dapat mengambil ketetapan lain terhadap masalah Pimpinan yang diatur dalam pasal 11 sampai dengan 16.
Pasal 18
Penasihat
(1) Penasihat terdiri atas perorangan yang diangkat oleh Pimpinan Muhammadiyah masing-masing tingkat.
(2) Penasihat bertugas memberi nasihat kepada Pimpinan Muhammadiyah, baik diminta maupun atas kemauan sendiri.
(3) Syarat untuk dapat diangkat sebagai penasihat:
a. Anggota Muhammadiyah
b. Pernah menjadi anggota Pimpinan Muhammadiyah, atau mempunyai pengalaman dalam organisasi atau memiliki keahlian bidang tertentu

Pasal 19
Unsur Pembantu Pimpinan
(1) Pengertian dan Pembentukan Unsur Pembantu Pimpinan:
a. Majelis:
1. Majelis bertugas menyelenggarakan amal usaha, program, dan kegiatan pokok dalam bidang tertentu.
2. Majelis dibentuk oleh Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, dan Pimpinan Cabang di tingkat masing-masing sesuai dengan kebutuhan.
b. Lembaga:
1. Lembaga bertugas melaksanakan program dan kegiatan pendukung yang bersifat khusus.
2. Lembaga dibentuk oleh Pimpinan Pusat di tingkat pusat.
3. Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Daerah, apabila dipandang perlu, dapat membentuk lembaga tertentu di tingkat masing-masing dengan persetujuan Pimpinan Muhammadiyah setingkat di atasnya.
(2) Ketentuan lain tentang Unsur Pembantu Pimpinan diatur dalam Qa`idah yang dibuat dan ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
Pasal 20
Organisasi Otonom
(1) Organisasi Otonom adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh Muhammadiyah guna membina warga Muhammadiyah dan kelompok masyarakat tertentu sesuai bidang-bidang kegiatan yang diadakannya dalam rangka mencapai maksud dan tujuan Muhammadiyah.
(2) Organisasi Otonom dibedakan dalam dua kategori:
a. Organisasi Otonom Umum adalah organisasi otonom yang anggotanya belum seluruhnya anggota Muhammadiyah
b. Organisasi Otonom Khusus adalah organisasi otonom yang seluruh anggotanya anggota Muhammadiyah, dan diberi wewenang menyelenggarakan amal usaha yang ditetapkan oleh Pimpinan Muhammadiyah dalam koordinasi Unsur Pembantu Pimpinan yang membidanginya sesuai dengan ketentuan yang berlaku tentang amal usaha tersebut
(3) Pembentukan dan pembubaran organisasi otonom ditetapkan oleh Tanwir atas usul Pimpinan Pusat.
(4) Ketentuan lain mengenai organisasi otonom diatur dalam Qa`idah Organisasi Otonom yang dibuat dan ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
Pasal 21
Muktamar
(1) Muktamar diselenggarakan oleh dan atas tanggungjawab serta dipimpin oleh Pimpinan Pusat.
(2) Ketentuan tentang pelaksanaan, tata-tertib, dan susunan acara Muktamar ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
(3) Undangan dan acara Muktamar dikirim kepada anggota Muktamar selambat-lambatnya tiga bulan sebelum Muktamar berlangsung.
(4) Acara Muktamar:
a. Laporan Pimpinan Pusat tentang:
1. Kebijakan Pimpinan.
2. Organisasi.
3. Pelaksanaan keputusan Muktamar dan Tanwir.
4. Keuangan.
b. Program Muhammadiyah
c. Pemilihan Anggota Pimpinan Pusat dan penetapan Ketua Umum
d. Masalah Muhammadiyah yang bersifat umum
e. Usul-usul
(5) Muktamar dihadiri oleh:
a. Anggota Muktamar terdiri atas:
1. Anggota Pimpinan Pusat.
2. Ketua Pimpinan Wilayah atau penggantinya yang sudah disahkan oleh Pimpinan Pusat.
3. Anggota Tanwir wakil Wilayah.
4. Ketua Pimpinan Daerah atau penggantinya yang sudah disahkan oleh Pimpinan Wilayah.
5. Wakil Daerah sekurang-kurangnya tiga orang dan sebanyak-banyaknya tujuh orang, berdasar atas jumlah perimbangan Cabang dalam tiap Daerah, atas dasar keputusan Musyawarah Pimpinan Daerah. Ketentuan perimbangan ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
6. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Pusat masing-masing tiga orang, diantaranya dua orang wakilnya dalam Tanwir.
b. Peserta Muktamar terdiri atas:
1. Wakil Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Pusat masing-masing dua orang.
2. Undangan khusus dari kalangan Muhammadiyah yang ditentukan oleh Pimpinan Pusat.
c. Peninjau Muktamar ialah mereka yang diundang oleh Pimpinan Pusat
(6) Anggota Muktamar berhak menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih. Peserta Muktamar berhak menyatakan pendapat. Peninjau Muktamar tidak mempunyai hak menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih.
(7) Keputusan Muktamar harus sudah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat selambat-lambatnya dua bulan sesudah Muktamar.
(8) Pertemuan dan atau kegiatan lain yang diselenggarakan bersamaan waktu berlangsungnya Muktamar diatur oleh penyelenggara.
Pasal 22
Muktamar Luar Biasa
(1) Muktamar Luar Biasa diadakan berdasarkan keputusan Tanwir atas usul Pimpinan Pusat atau dua pertiga Pimpinan Wilayah.
(2) Undangan dan acara Muktamar Luar Biasa dikirim kepada Anggota Muktamar selambat-lambatnya satu bulan sebelum Muktamar Luar Biasa berlangsung.
(3) Ketentuan-ketentuan pasal 21 berlaku bagi penyelenggaraan Muktamar Luar Biasa, kecuali ayat (3) dan ayat (4).
(4) Muktamar Luar Biasa dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari anggota Muktamar dan keputusannya diambil sekurang-kurangnya dua pertiga dari yang hadir.
Pasal 23
Tanwir
(1) Tanwir diadakan oleh Pimpinan Pusat atau atas permintaan sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah anggota Tanwir di luar anggota Pimpinan Pusat.
(2) Tanwir diselenggarakan oleh dan atas tanggungjawab serta dipimpin Pimpinan Pusat.
(3) Ketentuan tentang pelaksanaan, tata-tertib, dan susunan acara Tanwir ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
(4) Undangan dan acara Tanwir dikirim kepada Anggota Tanwir selambat-lambatnya satu bulan sebelum Tanwir berlangsung.
(5) Acara Tanwir:
a. Laporan Pimpinan Pusat
b. Masalah yang oleh Muktamar atau menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga diserahkan kepada Tanwir
c. Masalah yang akan dibahas dalam Muktamar sebagai pembicaraan pendahuluan
d. Masalah mendesak yang tidak dapat ditangguhkan sampai berlangsungnya Muktamar
e. Usul-usul
(6) Tanwir dihadiri oleh:
a. Anggota Tanwir terdiri atas:
1. Anggota Pimpinan Pusat.
2. Ketua Pimpinan Wilayah atau penggantinya yang telah disahkan oleh Pimpinan Pusat.
3. Wakil Wilayah terdiri dari unsur PWM dan atau PDM antara 3 sampai 5 orang berdasarkan perimbangan daerah dalam wilayah atas dasar keputusan Musyawarah Wilayah atau Musyawarah Pimpinan Wilayah. Ketentuan perimbangan ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
4. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Pusat masing-masing dua orang.
b. Peserta Tanwir terdiri dari:
1. Wakil Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Pusat masing-masing dua orang.
2. Undangan khusus dari kalangan Muhammadiyah yang ditentukan oleh Pimpinan Pusat.
c. Peninjau Tanwir ialah mereka yang diundang oleh Pimpinan Pusat.
(7) Anggota Tanwir berhak menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih. Peserta Tanwir berhak menyatakan pendapat. Peninjau Tanwir tidak berhak menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih.
(8) Keputusan Tanwir harus sudah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat selambat-lambatnya satu bulan sesudah Tanwir.
(9) Pertemuan dan atau kegiatan lain yang diselenggarakan bersamaan waktu Sidang Tanwir diatur oleh penyelenggara.

Pasal 24
Musyawarah Wilayah
(1) Musyawarah Wilayah diselengarakan oleh dan atas tanggungjawab serta dipimpin oleh Pimpinan Wilayah.
(2) Ketentuan tentang pelaksanaan tata-tertib, dan susunan acara Musyawarah Wilayah ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah.
(3) Undangan dan acara Musyawarah Wilayah dikirim kepada Anggota Musyawarah Wilayah selambat-lambatnya satu bulan sebelum Musyawarah Wilayah berlangsung.
(4) Acara Musyawarah Wilayah:
a. Laporan Pimpinan Wilayah tentang:
1. Kebijakan Pimpinan.
2. Organisasi.
3. Pelaksanaan keputusan-keputusan Muktamar, Tanwir, Instruksi Pimpinan Pusat, pelaksanaan keputusan Musyawarah Wilayah , Musyawarah Pimpinan Wilayah, dan Rapat Pimpinan tingkat Wilayah.
4. Keuangan.
b. Program Wilayah
c. Pemilihan Anggota Pimpinan Wilayah dan pengesahan Ketua
d. Pemilihan Anggota Tanwir Wakil Wilayah
e. Masalah Muhammadiyah dalam Wilayah
f. Usul-usul
(5) Musyawarah Wilayah dihadiri oleh:
a. Anggota Musyawarah Wilayah terdiri atas:
1. Anggota Pimpinan Wilayah yang sudah disahkan oleh Pimpinan Pusat.
2. Ketua Pimpinan Daerah atau penggantinya yang sudah disahkan oleh Pimpinan Wilayah.
3. Anggota Pimpinan Daerah, yang jumlahnya ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah.
4. Ketua Pimpinan Cabang atau penggantinya yang sudah disahkan oleh Pimpinan Daerah.
5. Wakil Cabang yang jumlahnya ditetapkan oleh Pimpinan Wilayah berdasarkan atas perimbangan jumlah Ranting pada tiap-tiap Cabang.
6. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Wilayah masing-masing dua orang.
b. Peserta Musyawarah Wilayah terdiri atas:
1. Wakil Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Wilayah, masing-masing dua orang.
2. Undangan khusus dari kalangan Muhammadiyah yang ditentukan oleh Pimpinan Wilayah.
c. Peninjau Musyawarah Wilayah ialah mereka yang diundang oleh Pimpinan Wilayah
(6) Anggota Musyawarah Wilayah berhak menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih. Peserta Musyawarah Wilayah berhak menyatakan pendapat. Peninjau Musyawarah Wilayah tidak berhak menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih.
(7) Keputusan Musyawarah Wilayah harus dilaporkan kepada Pimpinan Pusat selambat-lambatnya satu bulan sesudah Musyawarah Wilayah. Apabila dalam waktu satu bulan sesudah laporan dikirim, tidak ada keterangan atau keberatan dari Pimpinan Pusat, maka keputusan Musyawarah Wilayah dapat ditanfidzkan oleh Pimpinan Wilayah.
(8) Pertemuan dan atau kegiatan lain yang diselenggarakan bersamaan waktu Musyawarah Wilayah diatur oleh penyelenggara.
Pasal 25
Musyawarah Daerah
(1) Musyawarah Daerah diselenggarakan oleh dan atas tanggungjawab serta dipimpin oleh Pimpinan Daerah.
(2) Ketentuan tentang pelaksanaan, tata-tertib, dan susunan acara Musyawarah Daerah ditetapkan oleh Pimpinan Daerah.
(3) Undangan dan acara Musyawarah Daerah dikirim kepada Anggota Musyawarah Daerah selambat-lambatnya satu bulan sebelum Musyawarah Daerah berlangsung.
(4) Acara Musyawarah Daerah:
a. Laporan Pimpinan Daerah tentang:
1. Kebijakan Pimpinan.
2. Organisasi.
3. Pelaksanaan keputusan-keputusan Musyawarah dan Pimpinan di atasnya serta pelaksanaan keputusan Musyawarah Daerah, Musyawarah Pimpinan Daerah dan Rapat Pimpinan tingkat Daerah.
4. Keuangan.
b. Program Daerah
c. Pemilihan Anggota Pimpinan Daerah dan pengesahan Ketua
d. Pemilihan anggota Musyawarah Pimpinan Wilayah Wakil Daerah
e. Masalah Muhammadiyah dalam Daerah
f. Usul-usul
(5) Musyawarah Daerah dihadiri oleh:
a. Anggota Musyawarah Daerah terdiri atas:
1. Anggota Pimpinan Daerah yang telah disahkan oleh Pimpinan Wilayah.
2. Ketua Pimpinan Cabang atau penggantinya yang sudah disahkan oleh Pimpinan Daerah.
3. Wakil Cabang sebanyak tiga orang.
4. Ketua Pimpinan Ranting atau penggantinya yang sudah disahkan oleh Pimpinan Cabang.
5. Wakil Ranting yang jumlahnya ditetapkan oleh Pimpinan Daerah berdasarkan jumlah anggota.
6. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Daerah masing-masing dua orang.
b. Peserta Musyawarah Daerah terdiri atas:
1. Wakil Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Daerah, masing-masing dua orang.
2. Undangan Khusus dari kalangan Muhammadiyah, yang ditentukan oleh Pimpinan Daerah.
c. Peninjau Musyawarah Daerah ialah mereka yang diundang oleh Pimpinan Daerah
(6) Anggota Musyawarah Daerah berhak menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih. Peserta Musyawarah Daerah berhak menyatakan pendapat. Peninjau Musyawarah Daerah tidak berhak menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih.
(7) Keputusan Musyawarah Daerah harus dilaporkan kepada Pimpinan Wilayah selambat-lambatnya satu bulan sesudah Musyawarah Daerah. Apabila dalam waktu satu bulan sesudah laporan dikirim tidak ada keterangan atau keberatan dari Pimpinan Wilayah, maka keputusan Musyawarah Daerah dapat ditanfidzkan oleh Pimpinan Daerah.
(8) Pertemuan dan atau kegiatan lain yang diselenggarakan bersamaan waktu Musyawarah Daerah diatur oleh penyelenggara.
Pasal 26
Musyawarah Cabang
(1) Musyawarah Cabang diselenggarakan oleh dan atas tanggungjawab serta dipimpin oleh Pimpinan Cabang.
(2) Ketentuan tentang pelaksanaan, tata-tertib, dan susunan acara Musyawarah Cabang ditetapkan oleh Pimpinan Cabang.
(3) Undangan dan acara Musyawarah Cabang dikirim kepada Anggota Musyawarah Cabang selambat-lambatnya 15 hari sebelum Musyawarah Cabang berlangsung.
(4) Acara Musyawarah Cabang:
a. Laporan Pimpinan Cabang tentang:
1. Kebijakan Pimpinan.
2. Organisasi.
3. Pelaksanaan keputusan Musyawarah dan keputusan Pimpinan di atasnya serta pelaksanaan keputusan Musyawarah Cabang dan Musyawarah Pimpinan Cabang.
4. Keuangan.
b. Program Cabang
c. Pemilihan Anggota Pimpinan Cabang dan pengesahan Ketua
d. Pemilihan anggota Musyawarah Pimpinan Daerah Wakil Cabang
e. Masalah Muhammadiyah dalam Cabang
f. Usul-usul
(5) Musyawarah Cabang dihadiri oleh:
a. Anggota Musyawarah Cabang terdiri atas:
1. Anggota Pimpinan Cabang yang telah disahkan oleh Pimpinan Daerah.
2. Ketua Pimpinan Ranting atau penggantinya yang telah disahkan oleh Pimpinan Cabang.
3. Wakil Ranting sebanyak tiga orang.
4. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Cabang masing-masing dua orang.
b. Peserta Musyawarah Cabang terdiri atas:
1. Wakil Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Cabang, masing-masing dua orang.
2. Undangan khusus dari kalangan Muhammadiyah yang ditentukan oleh Pimpinan Cabang.
c. Peninjau Musyawarah Cabang ialah mereka yang diundang oleh Pimpinan Cabang.
(6) Anggota Musyawarah Cabang berhak menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih. Peserta Musyawarah Cabang berhak menyatakan pendapat. Peninjau Musyawarah Cabang tidak berhak menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih.
(7) Keputusan Musyawarah Cabang harus dilaporkan kepada Pimpinan Daerah selambat-lambatnya 15 hari sesudah Musyawarah Cabang. Apabila dalam waktu 15 hari sesudah laporan dikirim tidak ada keterangan atau keberatan dari Pimpinan Daerah, maka keputusan Musyawarah Cabang dapat ditanfidzkan oleh Pimpinan Cabang.
(8) Pertemuan dan atau kegiatan lain yang diselenggarakan bersamaan waktu Musyawarah Cabang diatur oleh penyelenggara.
Pasal 27
Musyawarah Ranting
(1) Musyawarah Ranting diselenggarakan oleh dan atas tanggungjawab serta dipimpin oleh Pimpinan Ranting.
(2) Ketentuan tentang pelaksanaan, tata-tertib, dan susunan acara Musyawarah Ranting ditetapkan oleh Pimpinan Ranting.
(3) Undangan dan acara Musyawarah Ranting dikirim kepada Anggota Musyawarah Ranting selambat-lambatnya tujuh hari sebelum Musyawarah Ranting berlangsung.
(4) Acara Musyawarah Ranting:
a. Laporan Pimpinan Ranting tentang:
1. Kebijakan Pimpinan.
2. Organisasi.
3. Pelaksanaan keputusan Musyawarah dan keputusan Pimpinan di atasnya serta pelaksanaan keputusan Musyawarah Ranting dan Musyawarah Pimpinan Ranting.
4. Keuangan.
b. Program Ranting
c. Pemilihan Anggota Pimpinan Ranting dan pengesahan Ketua
d. Masalah Muhammadiyah dalam Ranting
e. Usul-usul
(5) Musyawarah Ranting dihadiri oleh:
a. Anggota Musyawarah Ranting:
1. Anggota Muhammadiyah.
2. Wakil Organisasi Otonom tingkat Ranting.
b. Peserta Musyawarah Ranting ialah undangan khusus dari kalangan Muhammadiyah yang ditentukan oleh Pimpinan Ranting
c. Peninjau Musyawarah Ranting ialah mereka yang diundang oleh Pimpinan Ranting
(6) Anggota Musyawarah Ranting berhak menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih. Peserta Musyawarah Ranting berhak menyatakan pendapat. Peninjau Musyawarah Ranting tidak berhak menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih.
(7) Keputusan Musyawarah Ranting harus dilaporkan kepada Pimpinan Cabang selambat-lambatnya 15 hari setelah Musyawarah Ranting. Apabila dalam waktu 15 hari sesudah laporan dikirim tidak ada keterangan atau keberatan dari Pimpinan Cabang, maka keputusan Musyawarah Ranting dapat ditanfidzkan oleh Pimpinan Ranting.
(8) Pertemuan dan atau kegiatan lain yang diselenggarakan bersamaan waktu Musyawarah Ranting diatur oleh penyelenggara.
Pasal 28
Musyawarah Pimpinan
(1) Musyawarah Pimpinan diselenggarakan oleh dan atas tanggungjawab serta dipimpin oleh Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting, sekurang-kurangnya satu kali dalam satu masa jabatan.
(2) Ketentuan tentang pelaksanaan, tata-tertib, dan susunan acara Musyawarah Pimpinan ditetapkan oleh masing-masing penyelenggara.
(3) Undangan dan acara Musyawarah Pimpinan dikirim kepada anggota Musyawarah Pimpinan selambat-lambatnya:
a. Tingkat Wilayah dan Daerah, satu bulan,
b. Tingkat Cabang, 15 hari,
c. Tingkat Ranting, tujuh hari,
sebelum Musyawarah Pimpinan berlangsung.
(4) Acara Musyawarah Pimpinan:
a. Laporan pelaksanaan kegiatan
b. Masalah yang oleh Musyawarah atau menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga diserahkan kepada Musyawarah Pimpinan
c. Masalah yang akan dibahas dalam Musyawarah sebagai pembicaraan pendahuluan
d. Masalah mendesak yang tidak dapat ditangguhkan sampai berlangsungnya Musyawarah
e. Usul-usul
(5) Musyawarah Pimpinan dihadiri oleh:
a. Pada tingkat Wilayah:
1. Anggota:
(a) Anggota Pimpinan Wilayah yang telah disahkan oleh Pimpinan Pusat
(b) Ketua Pimpinan Daerah atau penggantinya yang telah disahkan oleh Pimpinan Wilayah
(c) Wakil Daerah tiga orang
(d) Wakil Organisasi Otonom tingkat Wilayah dua orang
2. Peserta:
(a) Wakil Unsur Pembantu Pimpinan masing-masing dua orang
(b) Undangan khusus
b. Pada tingkat Daerah:
1. Anggota:
(a) Anggota Pimpinan Daerah yang telah disahkan oleh Pimpinan Wilayah
(b) Ketua Pimpinan Cabang
(c) Wakil Cabang tiga orang
(d) Wakil Organisasi Otonom tingkat Daerah dua orang
2. Peserta:
(a) Wakil Unsur Pembantu Pimpinan masing-masing dua orang
(b) Undangan khusus
c. Pada tingkat Cabang:
1. Anggota:
(a) Anggota Pimpinan Cabang yang telah disahkan oleh Pimpinan Daerah
(b) Ketua Pimpinan Ranting
(c) Wakil Ranting tiga orang
(d) Wakil Organisasi Otonom tingkat Cabang dua orang.
2. Peserta:
(a) Wakil Unsur Pembantu Pimpinan masing-masing dua orang
(b) Undangan khusus
d. Pada tingkat Ranting:
1. Anggota:
(a) Anggota Pimpinan Ranting yang telah disahkan oleh Pimpinan Cabang
(b) Wakil Organisasi Otonom tingkat Ranting dua orang.
2. Peserta (undangan khusus).
(6) Anggota Musyawarah Pimpinan berhak menyatakan pendapat, memilih, dan dipilih. Peserta berhak pendapat.
(7) Keputusan Musyawarah Pimpinan mulai berlaku setelah ditanfidzkan oleh Pimpinan Muhammadiyah yang bersangkutan sampai diubah atau dibatalkan oleh keputusan Musyawarah Wilayah / Daerah / Cabang / Ranting, selambat-lambatnya satu bulan sesudah Musyawarah Pimpinan berlangsung
Pasal 29
Keabsahan Musyawarah
Musyawarah dinyatakan sah apabila dihadiri oleh dua pertiga dari anggota Musyawarah. Apabila anggota Musyawarah tidak memenuhi jumlah dua pertiga, maka Musyawarah ditunda selama satu jam dan setelah itu dapat dibuka kembali. Apabila anggota Musyawarah belum juga memenuhi jumlah dua pertiga, maka Musyawarah ditunda lagi selama satu jam dan setelah itu dapat dibuka serta dinyatakan sah tanpa memperhitungkan jumlah kehadiran anggota Musyawarah.
Pasal 30
Keputusan Musyawarah
(1) Keputusan Musyawarah diambil dengan cara mufakat.
(2) Apabila keputusan secara mufakat tidak tercapai, maka dilakukan pemungutan suara dengan suara terbanyak mutlak.
(3) Keputusan Musyawarah yang dilakukan dengan pemungutan suara dapat dilakukan secara terbuka atau tertutup / rahasia.
Pasal 31
Rapat Pimpinan
(1) Rapat Pimpinan sebagaimana dimaksud pada pasal 32 Anggaran Dasar dihadiri oleh:
a. Pada tingkat Pusat:
1. Anggota Pimpinan Pusat.
2. Ketua dan Sekretaris Pimpinan Wilayah.
3. Ketua Umum dan Sekretaris Umum Organisasi Otonom tingkat Pusat.
4. Ketua dan Sekretaris Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Pusat.
b. Pada tingkat Wilayah:
1. Anggota Pimpinan Wilayah.
2. Ketua dan Sekretaris Pimpinan Daerah.
3. Ketua Umum dan Sekretaris Umum Organisasi Otonom tingkat Wilayah.
4. Ketua dan Sekretaris Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Wilayah.
c. Pada tingkat Daerah:
1. Anggota Pimpinan Daerah.
2. Ketua dan Sekretaris Pimpinan Cabang.
3. Ketua Umum dan Sekretaris Umum Organisasi Otonom tingkat Daerah.
4. Ketua dan Sekretaris Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Daerah.
(2) Ketentuan pelaksanaan dan acara Rapat Pimpinan ditentukan oleh Pimpinan Muhammadiyah masing-masing tingkat.
(3) Keputusan Rapat Pimpinan mulai berlaku setelah ditanfidzkan oleh Pimpinan Muhammadiyah yang bersangkutan.
Pasal 32
Rapat Kerja Pimpinan
(1) Rapat Kerja Pimpinan ialah rapat yang diselenggarakan oleh dan atas tanggungjawab serta dipimpin oleh Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, atau Pimpinan Ranting untuk membahas pelaksanaan program dan mendistribusikan tugas kepada Unsur Pembantu Pimpinan Muhammadiyah.
(2) Rapat Kerja Pimpinan dihadiri oleh:
a. Pada tingkat Pusat:
1. Anggota Pimpinan Pusat.
2. Wakil Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Pusat.
3. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Pusat.
b. Pada tingkat Wilayah:
1. Anggota Pimpinan Wilayah.
2. Wakil Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Wilayah.
3. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Wilayah.
c. Pada tingkat Daerah:
1. Anggota Pimpinan Daerah.
2. Wakil Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Daerah.
3. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Daerah.
d. Pada tingkat Cabang:
1. Anggota Pimpinan Cabang.
2. Wakil Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Cabang.
3. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Cabang
e. Pada tingkat Ranting:
1. Anggota Pimpinan Ranting.
2. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Ranting.
(4) Keputusan Rapat Kerja Pimpinan mulai berlaku setelah ditanfidzkan oleh Pimpinan Muhammadiyah yang bersangkutan.

Pasal 33
Rapat Kerja Unsur Pembantu Pimpinan
(1) Rapat Kerja Unsur Pembantu Pimpinan ialah rapat yang diselenggarakan oleh dan atas tanggungjawab serta dipimpin oleh Pimpinan Unsur Pembantu Pimpinan pada setiap tingkatan untuk membahas penyelenggaraan program sesuai pembagian tugas yang ditetapkan oleh Pimpinan Muhammadiyah.
(2) Rapat Kerja Unsur Pembantu Pimpinan dihadiri oleh:
a. Pada tingkat Pusat:
1. Anggota Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Pusat.
2. Wakil Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Wilayah.
3. Undangan.
b. Pada tingkat Wilayah:
1. Anggota Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Wilayah
2. Wakil Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Daerah.
3. Undangan.
c. Pada tingkat Daerah:
1. Anggota Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Daerah.
2. Wakil Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Cabang.
3. Undangan.
4. Pada tingkat Cabang:
5. Anggota Unsur Pembantu Pimpinan tingkat Cabang.
6. Wakil Pimpinan Ranting.
7. Undangan.
(3) Keputusan Rapat Kerja Unsur Pembantu Pimpinan mulai berlaku setelah ditanfidzkan oleh Pimpinan Muhammadiyah yang bersangkutan.
Pasal 34
Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan
(1) Seluruh keuangan dan kekayaan Muhammadiyah, termasuk keuangan dan kekayaan Unsur Pembantu Pimpinan, Amal Usaha, dan Organisasi Otonom pada semua tingkat secara hukum milik Pimpinan Pusat.
(2) Pengelolaan keuangan dan kekayaan :
a. Pengelolaan keuangan dalam Muhammadiyah diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Muhammadiyah
b. Pengelolaan kekayaan dalam Muhammadiyah diwujudkan dalam Jurnal
(3) Ketentuan tentang pengelolaan keuangan dan kekayaan Muhammadiyah ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
Pasal 35
Pengawasan Keuangan dan Kekayaan
(1) Pengawasan keuangan dan kekayaan dilakukan terhadap Pimpinan Muhammadiyah, Unsur Pembantu Pimpinan, Amal Usaha, dan Organisasi Otonom pada semua tingkat.
(2) Ketentuan tentang pengawasan keuangan dan kekayaan Muhammadiyah ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
Pasal 36
Laporan
Laporan terdiri dari:
1. Laporan pertanggungjawaban dibuat oleh Pimpinan Muhammadiyah dan Unsur Pembantu Pimpinan disampaikan kepada Musyawarah Pimpinan, Musyawarah masing-masing tingkat, Tanwir, atau Muktamar.
2. Laporan tahunan tentang perkembangan Muhammadiyah, termasuk laporan Unsur Pembantu Pimpinan dan Organisasi Otonom, dibuat oleh masing-masing Pimpinan dan disampaikan kepada Pimpinan di atasnya untuk dipelajari dan ditindaklanjuti.
3. Pimpinan Amal Usaha membuat laporan tahunan disampaikan kepada Unsur Pembantu Pimpinan dengan tembusan kepada Pimpinan Muhammadiyah untuk dipelajari dan ditindaklanjuti.
Pasal 37
Ketentuan Lain-lain

(1) Muhammadiyah menggunakan Tahun Takwim dimulai tanggal 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember.
(2) Surat-surat resmi Muhammadiyah menggunakan tanggal Hijriyah dan Miladiyah.
(3) a.Surat resmi Muhammadiyah ditandatangani:
1. Di tingkat Pusat oleh Ketua Umum / Ketua bersama Sekretaris Umum / Sekretaris. Surat resmi mengenai masalah keuangan ditandatangani oleh Ketua Umum / Ketua bersama Bendahara Umum / Bendahara.
2. Di tingkat Wilayah ke bawah ditandatangani oleh Ketua / Wakil Ketua bersama Sekretaris / Wakil Sekretaris. Surat resmi mengenai masalah keuangan ditandatangani oleh Ketua / Wakil Ketua bersama Bendahara / Wakil Bendahara.
b. Surat-surat yang bersifat rutin dapat ditandatangani oleh Sekretaris Umum / Sekretaris atau petugas yang ditunjuk
(4) Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
Pasal 38
Penutup
(1) Anggaran Rumah Tangga ini telah disahkan dan ditetapkan oleh Muktamar ke-45 yang berlangsung pada tanggal 26 Jumadil Awal s.d. 1 Jumadil Akhir 1426 H bertepatan dengan tanggal 3 s.d. 8 Juli 2005 M. di Malang, dan dinyatakan mulai berlaku sejak ditanfidzkan.
(2) Setelah Anggaran Rumah Tangga ini ditetapkan, Anggaran Rumah Tangga sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi.

AD/ART PGRI

KEPUTUSAN KONGRES XX
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
Nomor : IV/KONGRES/XX/PGRI/2008
Tentang
PENYEMPURNAAN ANGGARAN DASAR DAN
ANGGARAN RUMAH TANGGA PGRI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, KONGRES XX PGRI;

Menimbang
: a. bahwa kemajuan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan telah berkembangan sedemikian pesat sesuai perkembangan dan kemajuan global;
b. bahwa PGRI sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi dan organisasi ketenagakerjaan berperan aktif dalam pembangunan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, dan global;
c. bahwa untuk menyesuaikan dengan semangat dan dinamika pembangunan serta peraturan perundang-undangan, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PGR perlu disempurnakan;
d. bahwa Kongres XX PGRI Tahun 2008 yang berlangsung dari tanggal 30 Juni s.d. 4 Juli 2008 di Palembang Sumatera Selatan adalah forum tertinggi organisasi yang berwenang menetapkan keputusan-keputusan strategis dan mendasar sebagai landasan operasional dalam mencapai tujuan sesuai jati diri, visi, dan misi organisasi;
e. bahwa Komisi-Komisi Kerja Kongres XX PGRI telah membahas secara lengkap, terpadu, visioner penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PGRI
f. bahwa berhubung dengan hal tersebut perlu ditetapkan keputusan kongres tentang penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PGRI.
Mengingat : 1. Undang-undang RI Nomor: 8 tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
2. Undang-Undang RI Nomor : 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Undang-Undang RI Nomor : 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
4. Keputusan Presiden RI Nomor 78 Tahun 1994 Tentang Hari Guru Nasinal.
5. Keputusan Kongres XIX Persatuan Guru Republik Indonesia Nomor : VII/KONGRES/XIX/PGRI/2003 Tentang Penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PGRI.
6. Keputusan Kongres XIX PGRI Nomor : IX/Kongres/XIX/PGRI/ 2003 tentang Susunan dan Personalia Pengurus Besar PGRI Masa Bakti XIX, sebagaimana telah diubah dengan keputusan Konpus II PGRI Nomor : V/KONPUS-II/XX/2005 dan telah diubah lagi dengan keputusan Konpus II PGRI Nomor : VI/KONPUS-II/XX/2005.
7. Keputusan Kongres XX PGRI Nomor: I/KONGRES/XX/PGRI/ 2008 tentang Jadwal Acara Kongres XX PGRI.
8. Keputusan Kongres XX PGRI Nomor: II/KONGRES/XX/PGRI/ 2008 tentang Tata Tertib Kongres XX PGRI.
9. Keputusan Kongres XX PGRI Nomor: IV/KONGRES/XX/PGRI/ 2008 Tentang Pembentukan Komisi Kerja Pembahasan Materi Kongres PGRI XX.
Memperhatikan : Saran dan pendapat yang berkembang dalam sidang-sidang Kongres XX PGRI.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan
: KEPUTUSAN KONGRES XX PGRI TENTANG PENYEMPURNAAN ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PERASTUAN GURU REPUBLIK INDONESIA.
Pertama
: Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PGRI yang telah disempurnakan, sebagaimana tercantum dalam lampiran yang menjadi bagian tidak terpisahkan dengan keputusan ini.
Kedua
: Menyatakan berlakunya Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga PGRI yang disempurnakan tersebut di semua tingkat, dan jajaran organisasi PGRI.
Ketiga : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di : Palembang
Pada tanggal : 3 Juli 2008

PENGURUS BESAR PGRI
SELAKU PIMPINAN KONGRES XX PGRI

Ketua,




Prof. Dr. H. Muhamad Surya Sekretaris Jenderal,




Drs. H. Soemardhi Thaher
































LAMPIRAN KEPUTUSAN KONGRES XX
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
Nomor : IV/KONGRES/XX/PGRI/2008
Tentang
PENYEMPURNAAN ANGGARAN DASAR DAN
ANGGARAN RUMAH TANGGA PGRI

ANGGARAN DASAR

PEMBUKAAN

Didorong oleh keinginan luhur untuk berperanserta secara aktif menegakkan, mengamankan, mengisi dan melestarikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 serta usaha mencerdaskan kehidupan bangsa seperti terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan mewujudkan peningkatan harkat, martabat, dan kesejahteraan guru khususnya serta tenaga kependidikan pada umumnya, maka perlu dibentuk suatu organisasi.
Atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, maka pada 25 November 1945 dalam kongres guru Indonesia di Surakarta, telah didirikan satu organisasi guru dengan nama Persatuan Guru Republik Indonesia disingkat PGRI.

PGRI sebagai tempat terhimpunnya segenap guru dan tenaga kependidikan lainnya merupakan organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan yang berdasarkan Pancasila, bersifat unitaristik, independen, dan tidak berpolitik praktis, secara aktif menjaga, memelihara, mempertahankan, dan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa yang dijiwai semangat kekeluargaan, kesetiakawanan sosial yang kokoh serta sejahtera lahir batin, dan kesetiakawanan organisasi baik nasional maupun internasional.

PGRI beserta seluruh anggotanya secara terus menerus berupaya mewujudkan pengabdiannya melalui pembinaan profesi guru dan tenaga kependidikan lainnya, membina serta mengembangkan pendidikan dan kebudayaan bagi pembangunan Indonesia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

PGRI sebagai organisasi perjuangan mengemban amanat cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, menjamin, menjaga, dan mempertahankan keutuhan dan kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan membudayakan nilai nilai luhur Pancasila.

Guru sebagai salah satu pilar pelaksana pembangunan pendidikan dituntut memiliki integritas dan kemampuan profesional yang tinggi agar mampu melaksanakan darma baktinya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. PGRI bertujuan dan berupaya membina, mempertahankan, dan meningkatkan harkat dan martabat guru melalui peningkatan kemampuan profesionalnya dan kesejahteraan guru beserta keluarganya.

Atas dasar hal-hal tesebut di atas maka disusunlah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sebagai berikut :










BAB I
NAMA, WAKTU DAN KEDUDUKAN

Pasal 1
(1) Organisasi ini bernama Persatuan Guru Republik Indonesia disingkat PGRI.
(2) Persatuan Guru Republik Indonesia didirikan pada 25 November 1945 dalam Kongres Guru Indonesia di Surakarta untuk waktu yang tidak ditentukan.
(3) Organisasi tingkat nasional berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.

BAB II
D A S A R

Pasal 2
PGRI berdasarkan Pancasila dan Undang undang Dasar 1945

BAB III
JATI DIRI

Pasal 3
PGRI adalah organisasi perjuangan, organisasi profesi dan organisasi ketenagakerjaan

BAB IV
SIFAT DAN SEMANGAT

Pasal 4
(1) PGRI adalah organisasi yang bersifat :
a. Unitaristik tanpa memandang perbedaan ijazah, tempat kerja, kedudukan, agama, suku, golongan, gender, dan asal-usul.
b. Independen yang berlandaskan pada prinsip kemandirian organisasi dengan mengutamakan kemitrasejajaran dengan berbagai pihak.
c. Non partai politik, bukan merupakan bagian dari dan tidak berafiliasi kepada partai politik.
(2) PGRI memiliki dan melandasi kegiatannya pada semangat demokrasi, kekeluargaan, keterbukaan dan tanggung jawab etika, moral serta hukum.

BAB V
KEDAULATAN
Pasal 5

Kedaulatan organisasi ada di tangan anggota dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Kongres.

BAB VI
TUJUAN

Pasal 6
PGRI bertujuan :
a Mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
b Berperanserta aktif mencapai tujuan nasional dalam mencerdaskan bangsa dan membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
c Berperanserta mengembangkan sistem dan pelaksanaan pendidikan nasional.
d Mempertinggi kesadaran dan sikap guru, meningkatkan mutu dan kemampuan profesi guru dan tenaga kependidikan lainnya, dan
e Menjaga, memelihara, membela serta meningkatkan harkat dan martabat guru dan tenaga kependidikan melalui peningkatan kesejahteraan serta kesetiakawanan anggota.

BAB VII
TUGAS DAN FUNGSI

Pasal 7
PGRI mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut :
a. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b. Membela, mempertahankan, mngamankan dan mengamalkan Pancasila.
c. Mempertahankan dan melestarikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Meningkatkan integritas bangsa dan serta menjaga tetap terjamin dan terpeliharanya keutuhan kesatuan dan persatuan bangsa.
e. Melaksanakan dan mengembangkan Sistem Pendidikan Nasional.
f. Membina dan bekerja sama dengan Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis di bidang pendidikan yang secara sukarela menyatakan diri bergabung dan/atau bermitra dengan PGRI.
g. Mempersatukan semua guru dan tenaga kependidikan di semua jenis, jenjang dan satuan pendidikan guna meningkatkan pengabdian dan peranserta di dalam pembangunan nasional.
h. Mengupayakan dan mengevaluasi terlaksananya peningkatan kualifikasi akademik, sertifikasi, akreditasi, sebagai lisensi bagi pengukuhan kompetensi profesi guru.
i. Menegakkan dan melaksanakan Kode Etik dan Ikrar Guru Indonesia sesuai peraturan organisasi
j. Mengadakan hubungan kerjasama dengan lembaga–lembaga pendidikan, organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, dan/atau organisasi kemasyarakatan umumnya dalam rangka peningkatan mutu pendidikan dan/atau kebudayaan.
k. Memelihara, membina dan mengembangkan kebudayaan nasional serta memelihara kebudayaan daerah dalam rangka memperkaya kebudayaan nasional.
l. Menyelenggarakan dan membina anak lembaga PGRI.
m. Memelihara dan mempertinggi kesadaran guru akan profesinya untuk meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, pengabdian, prestasi dan kerjasama.
n. Membentuk, memelihara dan meningkatkan mutu keorganisasi PGRI

BAB VIII
KODE ETIK DAN IKRAR GURU INDONESIA

Pasal 8
(1) PGRI memiliki dan melaksanakan Kode Etik dan Ikrar Guru Indonesia.
(2) Kode Etik dan Ikrar Guru Indonesia tersebut dalam ayat (1) pasal ini diatur dalam Anggaran Rumah Tangga dan peraturan tersendiri.



BAB IX
ATRIBUT

Pasal 9
(1) PGRI memiliki atribut organisasi yang terdiri dari Lambang, Panji, Pakaian Seragam, Hymne dan Mars PGRI.
(2) Atribut organisasi tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam ketentuan tersendiri

BAB X
KEANGGOTAAN, KEWAJIBAN DAN HAK

Pasal 10
Yang dapat diterima menjadi anggota PGRI adalah warga negara Republik Indonesia, yang dengan sukarela mengajukan permohonan menjadi anggota serta memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Anggaran Rumah Tangga.


Pasal 11
Keanggotaan berakhir :
a. atas permintaan sendiri.
b. karena diberhentikan, atau
c. karena meninggal dunia.


Pasal 12
(1) Setiap anggota berkewajiban :
a. Menjunjung tinggi nama dan kehormatan organisasi serta Kode Etik dan Ikrar Guru Indonesia.
b. Mematuhi Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, peraturan-peraturan dan disiplin organisasi.
c. Melaksanakan program organisasi secara aktif
(2) Tatacara melaksanakan kewajiban anggota diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


Pasal 13
(1) Setiap anggota mempunyai :
a. hak bicara;
b. hak suara;
c. hak memilih;
d. hak dipilih;
e. hak membela diri;
f. hak untuk memperjuangkan peningkatan harkat dan martabatnya.
g. hak memperoleh pembelaan dan perlindungan hukum.

(2) Tatacara penggunaan dan pelaksanaan hak anggota diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

BAB XI
SUSUNAN DAN PERANGKAT
KELENGKAPAN ORGANISASI

Pasal 14
PGRI memiliki tata urutan/tingkat organisasi dengan susunan sebagai berikut :
a. Tingkat Nasional
b. Tingkat Provinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kota.
d. Tingkat Cabang/Cabang Khusus.
e. Tingkat Ranting.

Pasal 15
Organisasi Tingkat Nasional meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pasal 16
Organisasi Tingkat Provinsi meliputi wilayah satu provinsi.

Pasal 17
Organisasi Tingkat Kabupaten/Kota meliputi wilayah satu Kabupaten/Kota

Pasal 18
PGRI Cabang/Cabang Khusus terdiri dari :
a. Cabang yang meliputi wilayah satu kecamatan.
b. Cabang Khusus yang meliputi satu unit kerja tertentu, baik di dalam maupun di luar negeri.


Pasal 19
Organisasi Tingkat Ranting meliputi wilayah satu desa/kelurahan atau satu unit kerja/satuan pendidikan/gugus sekolah.

Pasal 20
Perangkat Kelengkapan Organisasi PGRI terdiri dari :
a. Badan Pimpinan Organisasi,
b. Anak Lembaga dan Badan khusus,
c. Himpunan / Ikatan / Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis,
d. Forum Organisasi,
e. Badan Penasihat,
f. Dewan Kehormatan Organisasi dan Kode Etik Profesi Guru Indonesia..

BAB XII
BADAN PIMPINAN ORGANISASI

Pasal 21
Badan pimpinan organisasi terdiri dari :
a. Pengurus Tingkat Nasional disebut Pengurus Besar PGRI.
b. Pengurus Tingkat Provinsi disebut Pengurus PGRI Provinsi.
c. Pengurus Tingkat Kabupaten / Kota disebut Pengurus PGRI Kabupaten / Kota.
d. Pengurus Tingkat Cabang / Cabang Khusus disebut Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus.
e. Pengurus Tingkat Ranting disebut Pengurus PGRI Ranting.

Pasal 22
(1) Susunan, proses pencalonan, dan pemilihan Pengurus Besar PGRI, Pengurus PGRI Provinsi, Pengurus PGRI Kabupaten/Kota, Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus, dan Pengurus Ranting ditetapkan dalam Anggaran Rumah Tangga.
(2) Masa Bakti kepengurusan Badan Pimpinan Organisasi ditetapkan 5 (lima) tahun.

Pasal 23
(1) Badan Pimpinan Organisasi bertugas melaksanakan program dan kegiatan organisasi.
(2) Badan Pimpinan Organisasi sesuai dengan tingkatannya masing-masing berwenang menetapkan kebijakan organisasi untuk memperlancar pelaksanaan tugas organisasi serta bertindak ke dalam dan ke luar atas nama organisasi.
(3) Badan Pengurus Organisasi sesuai dengan tingkatannya masing-masing berkewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban pada forum organisasi tertinggi pada tingkatan masing-masing.

Pasal 24
(1) Sebelum memulai tugasnya, seluruh anggota Badan Pimpinan Organisasi disahkan dan dilantik oleh Badan Pimpinan Organisasi setingkat lebih tinggi kecuali seluruh anggota Badan Pimpinan Organisasi Tingkat Nasional yang mengucapkan janji dihadapan Kongres.
(2) Tatacara pelaksanaan pelantikan, pengucapan janji, dan pengesahan Badan Pimpinan Organisasi tersebut dalam ayat (1) pasal ini diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

BAB XIII
ANAK LEMBAGA DAN BADAN KHUSUS

Pasal 25
(1) Untuk mengelola bidang dan/atau tugas tertentu dalam upaya mencapai tujuan organisasi yang bersifat tetap dan jangka panjang dibentuk Anak Lembaga PGRI.
(2) Jenis, susunan, dan tugas anak lembaga Tingkat Nasional dan pengurusnya ditetapkan oleh Pengurus Besar PGRI.
(3) Anak Lembaga PGRI dikoordinasikan oleh Badan Pimpinan Organisasi sesuai tingkatannya masing-masing.
(4) Masa bakti kepengurusan Anak Lembaga PGRI ditetapkan sama dengan masa bakti Badan Pimpinan Organisasi sesuai tingkatannya.
(5) Ketentuan mengenai tugas, fungsi dan kegiatan anak lembaga serta susunan dan tata kerjanya diatur dalam peraturan tersendiri.
(6) Semua anak lembaga harus tunduk kepada semua peraturan dan keputusan-keputusan PGRI sebagai induk organisasinya.

Pasal 26
(1) Untuk melaksanakan program tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan Forum Organisasi baik sebagai upaya mencapai sasaran program organisasi maupun dalam upaya bekerjasama dengan pihak lain, Badan Pimpinan Organisasi di semua tingkatan dapat membentuk Badan Khusus.
(2) Badan khusus bertanggungjawab kepada Badan Pimpinan Organisasi yang membentuknya.
(3) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan serta tata kelola Badan Khusus diatur dalam peraturan tersendiri.
(4) Badan Khusus yang dibentuk oleh PGRI harus tunduk kepada semua peraturan dan keputusan-keputusan PGRI sebagi induk organisasinya

BAB XIV
HIMPUNAN PROFESI DAN
KEAHLIAN SEJENIS

Pasal 27
(1) Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis di lingkungan pendidikan yang secara sukarela menyatakan bergabung dan/atau berafiliasi dengan PGRI merupakan salah satu Badan Kelengkapan Organisasi PGRI.
(2) Hak, kewajiban, dan mekanisme hubungan kerja antara PGRI dengan Himpunan / Ikatan / Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan tersendiri.

BAB XV
FORUM ORGANISASI

Pasal 28
Jenis Forum Organisasi
(1) Jenis Forum Organisasi terdiri dari :
a. Kongres
b. Kongres Luar Biasa
c. Konferensi Kerja Nasional ( KONKERNAS )
d. Konferensi PGRI Provinsi ( KONPROV )
e. Konferensi PGRI Provinsi Luar Biasa (KONPROVLUB )
f. Konferensi Kerja PGRI Provinsi ( KONKERPROV )
g. Konferensi PGRI Kabupaten / Kota ( KONKAB / KONKOT )
h. Konferensi PGRI Kabupaten / Kota Luar Biasa ( KONKABLUB / KONKOTLUB )
i. Konferensi Kerja PGRI Kabupaten / Kota ( KONKERKAB / KONKERKOT )
j. Konferensi Cabang / Cabang Khusus ( KONCAB / KONCABSUS )
k. Konferensi Cabang / Cabang Khusus Luar Biasa ( KONCABLUB / KONCABSUSLUB )
l. Konferensi Kerja Cabang / Cabang Khusus ( KONKERCAB / KONKERCABSUS )
m. Rapat Anggota PGRI Ranting ( RAPRAN )
n. Rapat Pengurus dan pertemuan lain
(2) Ketentuan mengenai tugas, fungsi dan susunan serta cara kerja masing-masing Forum Organisasi tersebut dalam ayat (1) pasal ini diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


BAB XVI
BADAN PENASIHAT

Pasal 29
(1) Badan Pimpinan Organisasi Tingkat Nasional sampai Ranting dibantu oleh sebuah Badan Penasihat yang diangkat, disahkan dan berhenti bersama-sama dengan Pengurus Badan Pimpinan Organisasi yang bersangkutan oleh forum organisasi yang memilihnya.
(2) Badan Penasihat bertugas memberikan nasihat, pertimbangan, dan saran kepada Badan Pimpinan Organisasi baik diminta maupun tidak.
(3) Badan Penasihat terdiri dari unsur tokoh-tokoh, pendidikan, kebudayaan, masyarakat, dan para ahli.
(4) Masa bakti kepengurusan Badan Penasehat ditetapkan sama dengan masa bakti kepengurusan Badan Pimpinan Organisasi sesuai tingkatannya.
(5) Ketentuan mengenai susunan, uraian tugas, fungsi dan cara kerja Badan Penasihat diatur dalam Anggaran Rumah Tangga


BAB XVII
DEWAN KEHORMATAN ORGANISASI
DAN KODE ETIK PROFESI GURU INDONESIA

Pasal 30
(1) Terkecuali untuk organisasi tingkat cabang dan ranting, Badan Pimpinan Organisasi dapat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi yang terdiri dari unsur Badan Penasehat, unsur Badan Pimpinan Organisasi, unsur Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis dan unsur keahlian sesuai keperluan.
(2) Dewan Kehormatan Organisasi bertugas memberikan saran, pendapat, dan pertimbangan tentang pelaksanaan, penegakan, dan pelanggaran disiplin organisasi dan Kode Etik Profesi Guru Indonesia.


BAB XVIII
PERBENDAHARAAN

Pasal 31
(1) Sumber keuangan diperoleh dari :
a. Uang pangkal,
b. Uang Iuran,
c. Sumbangan tetap para donatur,
d. Sumbangan-sumbangan yang tidak mengikat,
e. Usaha-usaha lain yang sah.
(2) Kekayaan Organisasi dibukukan dan diinventarisasikan sebaik-baiknya.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengelolaan keuangan dan kekayaan organisasi diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


BAB XIX
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR

Pasal 32
(1) Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga adalah wewenang Kongres.
(2) Kongres yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini, sah apabila dihadiri lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kabupaten/Kota yang mewakili lebih dari ½ (satu perdua) jumlah suara.
(3) Perubahan AD/ART harus disetujui oleh sekurang-kurangnya 2∕3 (dua pertiga) dari jumlah suara yang hadir.


BAB XX
PEMBUBARAN

Pasal 33
(1) Pembubaran organisasi diputuskan oleh Kongres yang diadakan khusus untuk keperluan itu.
(2) Kongres yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini, sah apabila dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah Pengurus PGRI Kabupaten/Kota yang mewakili lebih dari 2/3 (dua pertiga) jumlah suara.
(3) Pembubaran wajib disetujui sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah suara yang hadir.
(4) Apabila Kongres memutuskan pembubaran, maka dalam keputusan tersebut ditentukan pedoman dan tata kerja organisasi dalam keadaan likuidasi.



BAB XXI
P E N U T U P

Pasal 34
(1) Hal-hal yang belum ditetapkan dalam Anggaran Dasar ini diatur dalam Anggaran Rumah Tangga dan/atau peraturan organisasi.
(2) Anggaran Dasar ini berlaku sejak tanggal ditetapkan Kongres.














































ANGGARAN RUMAH TANGGA
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA

BAB I
KODE ETIK PROFESI GURU INDONESIA DAN
IKRAR GURU INDONESIA

Pasal 1
(1) Kode Etik Profesi Guru Indonesia merupakan etika jabatan guru yang menjadi landasan moral dan pedoman tingkah laku profesi yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap guru Indonesia.
(2) Ikrar Guru Indonesia merupakan penegasan kebulatan tekad anggota PGRI dalam penghayatan dan pengamalan Kode Etik Profesi Guru Indonesia.
(3) Kode Etik dan Ikrar Guru Indonesia tercantum dalam naskah tersendiri.
(4) Setiap anggota PGRI wajib memahami, menghayati, mengamalkan dan menjunjung tinggi Kode Etik Profesi Guru Indonesia dan Ikrar Guru Indonesia.
(5) Tata cara penggunaan dan pengucapan Ikrar Guru Indonesia diatur lebih lanjut dalam ketentuan tersendiri.

BAB II
KEANGGOTAAN

Pasal 2
Jenis Keanggotaan
Jenis Keanggotaan terdiri dari :
a. Anggota biasa,
b. Angggota luar biasa,
c. Anggota kehormatan.


Pasal 3
Anggota Biasa
Yang dapat menjadi anggota biasa adalah :
a. Para guru/dosen dan tenaga kependidikan,
b. Para ahli yang menjalankan pekerjaan pendidikan,
c. Mereka yang menjabat pekerjaan di bidang pendidikan,
d. Pensiunan yang dimaksud dalam butir (a), (b), dan (c) pasal ini yang tidak menyatakan dirinya keluar dari keanggotaan PGRI.


Pasal 4
Anggota Luar Biasa
Yang dapat menjadi anggota luar biasa :
a. Para petugas lain yang erat kaitannya dengan tugas kependidikan,
b. Mereka yang berijazah lembaga pendidikan tetapi tidak bekerja di bidang pendidikan.


Pasal 5
Anggota Kehormatan
Anggota kehormatan ialah mereka yang atas usul Pengurus Besar, Pengurus Provinsi, Pengurus Kabupaten/Kota diangkat dan ditetapkan oleh Kongres, Konferensi Provinsi dan Konferensi Kabupaten/Kota, karena jasa-jasanya terhadap pendidikan dan organisasi.

Pasal 6
Tata Cara Penerimaan Keanggotaan
(1) Keanggotaan biasa atau luar biasa dapat diperoleh dengan jalan mengajukan surat permintaan menjadi anggota kepada Pengurus Cabang/Cabang Khusus melalui Pengurus PGRI Ranting,
(2) PGRI Cabang/Cabang khusus yang tidak mempunyai Ranting, surat permintaan sebagai anggota disampaikan langsung kepada Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus,
(3) Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus menyetujui permintaan keanggotaan dan melaporkannya kepada Pengurus PGRI Kabupaten/Kota untuk menerbitkan kartu anggota bagi anggota yang bersangkutan,
(4) Untuk Cabang Khusus di instansi tingkat provinsi dan perguruan tinggi, permintaan menjadi anggota dapat diurus langsung oleh Pengurus PGRI Provinsi di daerahnya.
(5) Pada instansi tingkat Nasional dan satuan pendidikan Indonesia di luar negeri, keanggotaannya diurus dan ditangani oleh Pengurus Besar PGRI.
(6) Dalam surat permintaan itu disebutkan antara lain :
 Nama
 Jenis Kelamin
 Tempat dan Tanggal Lahir
 Pekerjaan
 Agama
 Alamat Pekerjaan
 Alamat Tempat Tinggal
 Ijazah yang dimiliki

(7) Keanggotaan disahkan dengan surat pengesahan serta pemberian kartu anggota oleh Pengurus Kabupaten/Kota atau oleh Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus yang jauh dari tempat kedudukan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.
(8) Keanggotaan harus terdaftar mulai dari Pengurus Ranting sampai dengan Pengurus Besar.
(9) Pengadaan kartu anggota dilaksanakan oleh Pengurus Kabupaten/Kota.
(10) Kartu anggota berlaku selama 5 tahun.

Pasal 7
Penolakan dan Permintaan Ulang Keanggotaan
(1) Wewenang penolakan permintaan menjadi anggota, dilakukan oleh Pengurus PGRI Kabupaten/Kota atau Pengurus PGRI Provinsi yang diberi wewenang untuk mengurusnya jika persyaratan seperti tercantum dalam pasal 6 Anggaran Rumah Tangga tidak dipenuhi.
(2) Jika permintaan menjadi anggota ditolak, yang berkepentingan boleh mengajukan permintaan ulang kepada instansi organisasi yang lebih tinggi, sampai kepada Pengurus PGRI Provinsi.
(3) Untuk instansi tingkat nasional, provinsi, perguruan tinggi dan satuan pendidikan Indonesia di luar negeri, pengajuan permintaan ulang tersebut disampaikan kepada Pengurus Besar PGRI.




Pasal 8
Kepindahan Anggota
(1) Seorang anggota yang pindah ke Cabang/Cabang Khusus lain, wajib memberi tahu Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus asal dan melapor kepada Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus ditempat yang baru.
(2) Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus yang melepas maupun yang menerima wajib melaporkan mutasi tersebut ke Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.

Pasal 9
Kewajiban Anggota
Anggota mempunyai kewajiban untuk :
a. Menaati Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, peraturan serta ketentuan organisasi,
b. Menjunjung tingggi Kode Etik dan Ikrar Guru Indonesia,
c. Mematuhi peraturan dan disiplin organisasi,
d. Melaksanakan program, tugas, serta misi organisasi,
e. Membayar uang pangkal dan iuran anggota,
f. Memberikan sumbangan sukarela kepada PGRI jika secara langsung maupun tidak langsung memperoleh penghasilan karena organisasi dan/atau ada kaitannya dengan organisasi.

Pasal 10
Hak Anggota
(1) Anggota biasa memiliki :
a. Hak Pilih, yaitu hak untuk memilih dan dipilih menjadi pengurus organisasi,
b. Hak Suara, yaitu hak untuk memberikan suaranya pada waktu pemungutan suara,
c. Hak Bicara, yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tertulis,
d. Hak Membela Diri, yaitu hak untuk menyampaikan pembelaan diri atas tindakan disiplin organisasi yang dijatuhkan kepadanya atau atas pembatasan hak-hak keanggotaannya, dan
e. Hak memperoleh kesejahteraan, pembelaan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya.
(2) Anggota luar biasa memiliki hak bicara, yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tertulis.
(3) Anggota kehormatan memiliki hak bicara, yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat baik secara lisan tertulis.

Pasal 11
Disiplin Organisasi
(1) Tindakan disiplin dapat dikenakan kepada anggota yang :
a. Dianggap telah melanggar Kode Etik Profesi Guru Indonesia, Ikrar Guru Indonesia, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, serta disiplin organisasi.
b. Tidak membayar uang iuran selama 3 (tiga) bulan berturut-turut dengan tidak ada alasan yang dapat dibenarkan oleh organisasi.
(2) Tindakan disiplin berupa :
a. Peringatan lisan atau tertulis,
b. Pemberhentian/pembebasan selaku pengurus organisasi,
c. Pemberhentian/pembebasan sementara sebagai anggota, dan
d. Pemberhentian.
(3) Pemberhentian/pembebasan sementara :
a. Sebagai anggota biasa/luar biasa dilakukan oleh Pengurus PGRICabang/Cabang Khusus atau Pengurus PGRI yang mengurus keanggotaannya.
b. Selaku anggota pengurus organisasi dilakukan oleh rapat pleno pengurus organisasi yang bersangkutan dan dipertanggungjawabkan pada forum organisasi yang setingkat
c. Sebagai anggota Pengurus Besar PGRI dapat dilakukan oleh keputusan rapat pleno Pengurus Besar PGRI yang dipertanggungjawabkan kepada Konferensi Kerja Nasional.
d. Sebagai anggota PGRI berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan sesudah jangka waktu tersebut wajib ditentukan apakah pemberhentian sementara itu dicabut atau dilanjutkan dengan pemberhentian tetap.
e. Sebagai anggota pengurus berlaku selama-lamanya 1 (satu) tahun dan sesudah jangka waktu tersebut wajib ditentukan apakah pemberhentian sementara itu dicabut atau dilanjutkan dengan pemberhentian tetap.
(4) Sebelum suatu tindakan disiplin dilakukan, pengurus organisasi yang mempunyai wewenang untuk menegakkan tindakan disiplin wajib mengadakan penyelidikan yang seksama.
(5) Sebelum suatu tindakan disiplin dilakukan, anggota yang dianggap bersalah diberi kesempatan membela diri dengan cukup disertai pembuktian yang sah.
(6) Semua anggota yang terkena tindakan disiplin organisasi mempunyai hak banding kepada instansi organisasi yang lebih tinggi sampai ke tingkat Kongres.

BAB III
ORGANISASI TINGKAT NASIONAL

Pasal 12
Status, Wilayah, dan Perangkat Kelengkapan Organisasi
(1) Organisasi Tingkat Nasional merupakan institusi tertinggi organisasi yang meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri yang memiliki keanggotaan PGRI.
(2) Kongres merupakan pemegang kedaulatan tertinggi organisasi.
(3) Organisasi Tingkat Nasional berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
(4) Perangkat Kelengkapan Organisasi tingkat nasional terdiri dari :
a. Pengurus Besar.
b. Anak Lembaga dan Badan Khusus Tingkat Nasional.
c. Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis Tingkat Nasional.
d. Kongres, Kongres Luar Biasa, Konferensi pusat, dan
e. Forum organisasi lainnya Tingkat Nasional.
f. Badan Penasehat Tingkat Nasional.
g. Dewan Kehormatan Organisasi dan Kode Etik Profesi Guru Indonesia



BAB IV
ORGANISASI TINGKAT PROVINSI

Pasal 13
Status, Wilayah, dan Perangkat Kelengkapan Organisasi
(1) Organisasi PGRI Provinsi meliputi wilayah satu provinsi.
(2) Dalam wilayah satu provinsi tidak boleh didirikan organisasi PGRI provinsi yang lain yang mempunyai batas wilayah yang sama.
(3) Jika wilayah satu Provinsi berkembang menjadi lebih dari satu provinsi yang sederajat, dapat didirikan organisasi PGRI provinsi yang baru dengan tata cara sebagai berikut :
a Pengurus PGRI Provinsi induk mengadakan Konferensi Khusus.
b Konferensi Khusus menetapkan Pengurus PGRI provinsi baru sebagai penanggung jawab organisasi di provinsi tersebut.
c Ketentuan tentang tata cara, wewenang dan tanggung jawab penyelenggaraan konferensi provinsi berlaku pula bagi penyelenggaraan konferensi khusus..
(4) Perangkat Kelengkapan Organisasi PGRI Provinsi terdiri dari :
a. Pengurus PGRI Provinsi.
b. Anak Lembaga dan Badan Khusus Provinsi.
c. Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan KeahlianSejenis Provinsi.
d. Konferensi PGRI Provinsi, Konferensi Luar Biasa Provinsi, Konferensi Kerja PGRI Provinsi, dan forum organisasi lainnya.
e. Badan Penasihat PGRI Provinsi.
f. Dewan Kehormatan Organisasi dan Kode Etik Profesi Guru Indonesia.

Pasal 14
Pengesahan dan Penolakan Organisasi PGRI Provinsi
(1) Pengesahan Organisasi PGRI Provinsi
a. Pengesahan Organisasi PGRI Provinsi yang baru dilakukan oleh Pengurus Besar.
b. Untuk memperoleh pengesahan sebagai Organisasi PGRI Provinsi, Pengurus PGRI Provinsi induk mengajukan Surat Permintaan Pengesahan kepada Pengurus Besar dengan menjelaskan :
 Nama calon Organisasi PGRI Provinsi.
 Susunan Pengurus PGRI Provinsi pertama kali.
 Alamat Pengurus/Kantor Organisasi PGRI Provinsi.
 Laporan/berita acara tentang pembentukan Organisasi PGRI Provinsi yang bersangkutan.
 Keadaan Organisasi PGRI Kabupaten/Kota/dan Organisasi PGRI Cabang/Cabang Khusus di bawahnya
c. Organisasi PGRI Provinsi dianggap sah apabila sudah menerima “Surat Pengesahan” dari Pengurus Besar.
d. Pengesahan diberikan apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut :
 Pembentukannya telah sesuai dengan syarat-syarat/prosedur yang telah ditetapkan
 dalam Anggaran Rumah Tangga pasal 13ayat (1), (2), dan (3).
 Calon Organisasi PGRI Provinsi telah menyelesaikan administrasi organisasi.
 Memperlihatkan kegiatan organisasi.

(2) Penolakan Pengesahan Organisasi PGRI Provinsi
a. Penolakan pengesahan Organisasi PGRI Provinsi dilakukan oleh Pengurus Besar PGRI dengan pemberitahuan melalui surat penolakan kepada yang berkepentingan dengan menjelaskan alasannya.
b. Calon Organisasi PGRI Provinsi yang ditolak permintaan pengesahannya dapat mengajukan permasalahannya kepada Konferensi Kerja Nasional tahun berikutnya yang wajib diagendakan secara khusus oleh Pengurus Besar.

Pasal 15
Pembekuan, Pencairan, dan Pembubaran Organisasi PGRI Provinsi
(1) Pembekuan Organisasi PGRI Provinsi berarti :
a. Menonaktifkan seluruh kepengurusan Organisasi PGRI Provinsi dan mencabut seluruh hak-haknya untuk mengadakan ikatan- ikatan atas nama PGRI.
b. Pembekuan, dan pencairan kembali Organisasi PGRI Provinsi dilakukan oleh Pengurus Besar yang kemudian memberikan pertanggungjawabannya kepada Konferensi Kerja Nasional dengan mempertimbangkan usul dan saran Pengurus PGRI Provinsi yang bersangkutan.
c. Pembekuan dilakukan karena pengurus:
 Melanggar Kode Etik dan Ikrar Guru Indonesia.
 Melanggar Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga serta ketentuan organisasi lainnya, dan
 Tidak memperlihatkan kehidupan/kegiatan organisasi.
d. Pembekuan wajib didahului dengan peringatan tertulis oleh Pengurus Besar sekurang-kurangnya tiga kali berturut-turut.
e. Sesudah Organisasi Provinsi dibekukan, segala kegiatan organisasi yang ada didaerahnya diurus langsung oleh Pengurus Besar dan segala urusan Organisasi PGRI Provinsi menjadi tanggung jawab Pengurus Besar.
(2) Pencairan Organisasi PGRI Provinsi
a. Pengurus Besar wajib mengidupkan kembali Organisasi PGRI Provinsi antara lain dengan menyelenggarakan Konferensi PGRI Provinsi, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah dibekukan.
b. Pengurus Besar dapat mencairkan kembali suatu Organisasi PGRI Provinsi yang dibekukan kalau Organisasi PGRI Provinsi tersebut telah dapat melakukan tugasnya secara wajar.
(3) Pembubaran Organisasi PGRI Provinsi:
a Organisasi PGRI dibubarkan oleh Konferensi Kerja Nasional jika 12 (dua belas) bulan sesudah dibekukan dan setelah berbagai upaya menghidupkan kembali tidak juga berhasil.
b Sesudah Organisasi PGRI Provinsi dibubarkan, Organisasi PGRI Kabupaten/Kota dan organisasi dibawahnya yang tetap memenuhi syarat diurus langsung oleh Pengurus Besar.
c Kekayaan Organisasi PGRI Provinsi, utang-piutang dan urusan lain-lain dari Organisasi PGRI Provinsi yang dibubarkan menjadi tanggungjawab Pengurus Besar
d Pembubaran serta pengalihan segala kekayaan Organisasi PGRI Provinsi oleh Pengurus Besar wajib diumumkan melalui media massa baik cetak maupun elektronik setempat.

BAB V
ORGANISASI PGRI KABUPATEN/KOTA

Pasal 16
Status, Wilayah, dan Perangkat Kelengkapan
(1) Wilayah Organisasi PGRI Tingkat Kabupaten/Kota dapat meliputi :
a. Satu Kabupaten, dan/atau
b. Satu Kota
(2) Dalam wilayah satu Organisasi PGRI Kabupaten/Kota tidak boleh didirikan Organisasi PGRI Kabupaten/Kota lain yang mempunyai batas wilayah yang sama.
(3) Jika wilayah satu Organisasi PGRI Kabupaten/Kota berkembang menjadi lebih dari satu Kabupaten/Kota yang sederajat, dapat didirikan Organisasi PGRI Kabupaten/Kota yang baru dengan tatacara sebagai berikut :
a. Pengurus PGRI Kabupaten/Kota mengadakan Konferensi PGRI Kabupaten/Kota khusus untuk menetapkan pembentukan Organisasi PGRI Kabupaten/Kota baru.
b. Konferensi PGRI Kabupaten/Kota tersebut menetapkan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota yang baru sebagai penangungjawab organisasi di daerah baru tersebut.
c. Ketentuan tentang tata cara, wewenang dan tanggung jawab penyelenggaraan konferensi PGRI berlaku pula bagi penyelenggara konferensi tersebut.
(4) Perangkat Kelengkapan Organisasi PGRI Kabupaten/Kota terdiri dari :
a. Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.
b. Anak Lembaga dan Badan Khusus Kabupaten/Kota.
c. Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis Kabupaten/Kota.
d. Konferensi PGRI Kabupaten/Kota, Konferensi Luar Biasa PGRI Kabupaten/Kota, Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota dan forum organisasi lainnya.
e. Badan Penasihat PGRI Kabupaten/Kota.
f. Dewan Kehormatan Organisasi dan Kode Etik Profesi Guru Indonesia.

Pasal 17
Pengesahan dan Penolakan
Organisasi PGRI Kabupaten/Kota

(1) Pengesahan organisasi PGRI Kabupaten/Kota yang baru dilakukan oleh Pengurus Besar dengan mempertimbangkan usul dan saran Pengurus PGRI Provinsi yang bersangkutan.
(2) Untuk memperoleh pengesahan sebagai Organisasi PGRI Kabupaten/Kota, Pengurus PGRI Kabupaten/Kota mengajukan Surat Permintaan Pengesahan kepada Pengurus Besar melalui Pengurus PGRI Provinsi dengan menjelaskan :
a. Nama Calon Organisasi PGRI Kabupaten/Kota.
b. Susunan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota pertama kali.
c. Alamat Pengurus/Kantor Organisasi PGRI Kabupaten/Kota.
d. Laporan/Berita Acara tentang pembentukan Organisasi PGRI Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
e. Keadaan Organisasi Cabang/Cabang Khusus dibawahnya.

(3) Organisasi PGRI Kabupaten/kota dianggap sah apabila sudah menerima surat pengesahan dari Pengurus Besar.
(4) Pengesahan diberikan apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Pembentukannya telah sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditetapkan dalam Anggaran Rumah Tangga pasal 16 ayat (1), (2), dan (3).
b. Calon Organisasi PGRI Kabupaten/Kota telah menyelesaikan administrasi organisasi.
c. Memperlihatkan kegiatan organisasi.
d. Usul dan saran Pengurus PGRI Provinsi yang bersangkutan.
(5) Penolakan pengesahan Organisasi Kabupaten/Kota dilakukan oleh Pengurus Besar dengan mempertimbangkan usul dan saran Pengurus PGRI Provinsi yang bersangkutan yang diberitahukan dengan surat penolakan kepada yang berkepentingan dengan menjelaskan alasannya.
(6) Calon Organisasi PGRI Kabupaten/Kota yang ditolak permintaan pengesahannya dapat mengajukan permasalahannya kepada Konferensi Kerja Nasional tahun berikutnya yang wajib diagendakan secara khusus oleh Pengurus Besar.

Pasal 18
Pembekuan, Pencairan, dan Pembubaran
Organisasi PGRI Kabupaten/Kota

(1). Pembekuan Organisasi PGRI Kabupaten/Kota
a. Pembekuan Organisasi PGRI Kabupaten/Kota berarti menonaktifkan seluruh kepengurusan Organisasi PGRI Kabupaten/Kota dan mencabut seluruh hak-haknya untuk mengadakan ikatan ikatan atas nama PGRI.
b. Pembekuan dilakukan karena Pengurus :
 Melanggar Kode Etik dan Ikrar Guru Indonesia.
 Melanggar Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan organisasi lainnya, dan
 Tidak memperlihatkan kehidupan/kegiatan organisasi.
c. Pembekuan wajib didahului dengan peringatan tertulis oleh Pengurus Besar sekurang-kurangnya tiga kali berturut-turut.
d. Sesudah Organisasi PGRI Kabupaten/Kota dibekukan, segala kegiatan organisasi dan segala urusan yang ada didaerahnya diurus langsung oleh Pengurus Besar dan menjadi tanggung jawab Pengurus Besar.
e. Pengurusan kegiatan Organisasi PGRI Kabupaten/Kota yang dibekukan tersebut dalam ayat (1) butir d pasal ini dapat didelegasikan kepada Pengurus PGRI Provinsi yang berangkutan.
f. Pembekuan dan pencarian kembali Organisasi PGRI Kabupaten/kota dapat dilakukan oleh Pengurus Besar dengan mempertimbangkan usul dan saran Pengurus PGRI Provinsi yang bersangkutan kemudian wajib mempertanggungjawabkannya kepada Konferensi Kerja Nasional.
(2) Pencairan Organisasi PGRI Kabupaten/Kota
a. Pengurus Besar wajib menghidupkan kembali Organisasi PGRI Kabupaten/kota antara lain dengan menyelenggarakan Konferensi PGRI Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sesudah pembekuan.
b. Pengurus Besar dapat mencairkan kembali suatu Organisasi PGRI Kabupaten/Kota yang dibekukan kalau Organisasi PGRI Kabupaten/Kota tersebut telah dapat melakukan tugasnya secara wajar dengan mempertimbangkan usul dan saran Pengurus PGRI Provinsi
(3) Pembubaran Organisasi PGRI Kabupaten/Kota
a. Organisasi PGRI Kabupaten/Kota dapat dibubarkan oleh Konferensi Kerja Nasional jika 12 (dua belas) bulan sesudah dibekukan dan setelah berbagai upaya untuk menghidupkan kembali tidak juga berhasil
b. Sesudah Organisasi PGRI Kabupaten/Kota dibubarkan, Organisasi Cabang/Cabang Khusus yang tetap memenuhi syarat diurus langsung oleh Pengurus Besar yang pelaksanaannya dapat didelegasikan kepada Pengurus PGRI Provinsi yang bersangkutan atau kepada Pengurus PGRI Kabupaten/Kota yang berdekatan.
c. Kekayaan Organisasi PGRI Kabupaten/Kota, utang-piutang, dan urusan lain-lain dari Organisasi PGRI Kabupaten/Kota yang dibubarkan menjadi tanggung jawab Pengurus Besar yang pelaksanaannya dapat didelegasikan kepada Pengurus PGRI Provinsi yang bersangkutan.
d. Pembubaran serta pengalihan segala kekayaan Organisasi PGRI Kabupaten kota oleh Pengurus Besar wajib diumumkan melalui media massa baik cetak maupun elektronik setempat.

BAB VI
ORGANISASI PGRI CABANG/CABANG KHUSUS

Pasal 19
Status, Wilayah, dan Perangkat Kelengkapan Organisasi
(1) Wilayah Organisasi Cabang meliputi wilayah satu kecamatan.
(2) Wilayah Organisasi Cabang Khusus dapat meliputi satu unit kerja tingkat nasional atau tingkat provinsi, atau tingkat Kabupaten/Kota atau satu unit kerja perguruan tinggi.
(3) Perangkat Kelengkapan Organisasi Cabang/Cabang Khusus terdiri dari :
 Pengurus Cabang/Cabang Khusus.
 Anak Lembaga dan Badan Khusus Cabang/Cabang Khusus.
 Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis Cabang/Cabang Khusus.
 Konferensi Cabang/Cabang Khusus, Konferensi Cabang/Cabang Khusus Luar Biasa, Konferensi Kerja Cabang/Cabang Khusus, dan forum organisasi lainnya.
 Badan Penasihat Cabang/Cabang Khusus.

Pasal 20
Pengesahan dan Penolakan
Organisasi Cabang/Cabang Khusus
Anggaran Rumah Tangga pasal 14 dan 17 berlaku pula bagi pengesahan dan penolakan permintaan pembentukan Cabang/Cabang Khusus, dengan ketentuan bahwa yang berhak memberikan atau menolak permintaan pengesahan Cabang/Cabang Khusus adalah Pengurus PGRI Provinsi dengan mempertimbangkan usul dan pendapat Pengurus PGRI Kabupaten/Kota yang bersangkutan


Pasal 21
Pembekuan, Pencairan, dan Pembubaran
Cabang/Cabang Khusus

Anggaran Rumah Tangga pasal 15 dan 18 berlaku pula bagi pembekuan, pencairan dan pembubaran Cabang/Cabang Khusus, dengan ketentuan bahwa yang berhak menetapkan pembekuan,pencairan, dan pembubaran adalah Pengurs PGRI Provinsi dengan memperhatikan usul dan pendapat Pengurus PGRI Kabupaten/Kota yang bersangkutan

BAB VII
ORGANISASI PGRI RANTING

Pasal 22
Status, Wilayah, dan Perangkat Kelengkapan Organisasi
(1) Wilayah Organisasi Ranting dapat meliputi Satu kelurahan/desa, atau Satu unit kerja tingkat kecamatan /satu satuan pendidikan/gugus sekolah.
(2) Dalam wilayah satu Organisasi Ranting tidak boleh didirikan Organisasi Ranting yang lain yang mempunyai batas wilayah yang sama.
(3) Jika wilayah satu Organisasi Ranting berkembang menjadi lebih dari satu kelurahan/desa atau terdapat satuan pendidikan atau gugus sekolah baru yang sederajat, dapat didirikan Organisasi Ranting yang baru dengan tata cara sebagai berikut :
a. Pengurus Ranting mengadakan Rapat Anggota untuk menetapkan pembentukan Organisasi Ranting yang baru.
b. Rapat Anggota tersebut menetapkan Pengurus Ranting yang baru sebagai penanggung jawab organisasi di daerah yang baru tersebut.
c. Ketentuan tentang tata cara, wewenang dan tanggungjawab penyelenggaraan Rapat Anggota PGRI berlaku pula bagi penyelenggaraan Rapat Anggota PGRI tersebut.
(4) Perangkat Kelengkapan Organisasi Ranting terdiri dari :
a. Pengurus Ranting
b. Badan Khusus yang dibentuk Ranting
c. Rapat Pengurus Ranting, Rapat Anggota, dan pertemuan lainnya.

Pasal 23
Pengesahan dan Penolakan Pembentukan Ranting
Anggaran Rumah Tangga pasal 14 dan 17 berlaku pula bagi pengesahan dan penolakan permintaan pembentukan Ranting, dengan ketentuan bahwa yang berhak memberikan atau menolak permintaan pengesahan Ranting adalah Pengurus PGRI Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan usul dan pendapat Pengurus Cabang/Cabang Khusus yang bersangkutan.

Pasal 24
Pembentukan, Pencairan, dan Pembubaran Ranting
Anggaran Rumah Tangga pasal 15 dan 18 berlaku pula bagi pembentukan, pencairan dan Pembubaran Ranting, dengan ketentuan bahwa yang berhak memberikan atau menolak permintaan pengesahan Ranting adalah Pengururs PGRI Kabupaten/Kota dengan memperhatikan usul dan pendapat Pengurus Cabang/Cabang Khusus yang bersangkutan. Cabang/Cabang Khusus yang bersangkutan.

BAB VIII
SYARAT-SYARAT PENGURUS

Pasal 25
Syarat Umum dan Syarat Khusus

(1) Semua anggota kepengurusan organisasi PGRI di semua jenis dan tingkatan wajib memenuhi syarat-syarat umum sebagai berikut :
a. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Berjiwa dan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
c. Anggota PGRI yang telah membuktikan peran serta aktif dalam kepengurusan dan atau terhadap organisasi.
d. Bersih, jujur, bermoral tinggi, bertanggung jawab, terbuka, dan berwawasan luas.
(2) Anggota Pengurus Besar, Pengurus PGRI Provinsi, Pengurus PGRI Kabupaten/Kota, Pengurus Cabang/Cabang Khusus, dan Pengurus Ranting, disamping memenuhi syarat umum tersebut dalam ayat (1) pasal ini wajib memenuhi syarat khusus sebagai berikut :
a. Pernah duduk dalam kepengurusan organisasi pada tingkat yang sama atau paling rendah 2 tingkat dibawahnya, kecuali untuk Pengurus Cabang/Cabang Khusus dan Ranting.
b. Bekerja dan atau bertempat tinggal di wilayah kerja organisasi
c. Tidak merangkap jabatan Pengurus PGRI pada tingkat lainnya.
d. Tidak merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik
e. Tidak menduduki jabatan pengurus lebih dari dua kali masa bakti berturut-turut dalam jabatan yang sama.

BAB IX
PENGURUS BESAR

Pasal 26
Susunan Pengurus
(1) Dalam kepengurusan PGRI perlu dilaksanakan kesetaraan gender.
(2) Pengurus Besar PGRI berjumlah paling banyak 25 orang dengan susunan sebagai berikut :
a. Pengurus Harian
1. Ketua Umum
2. Ketua
3. Ketua
4. Ketua
5. Ketua
6. Ketua
7. Ketua
8. Sekretaris Jenderal
9. Wakil Sekretaris Jenderal
10. Wakil Sekretaris Jenderal
11. Wakil Sekretaris Jenderal
12. Bendahara
13. Wakil Bendahara
b. Departemen
14. Departemen Organisasi dan Kaderisasi
15. Departemen Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan
16. Departemen Informasi dan Komunikasi
17. Departemen Penelitian dan Pengembangan
18. Departemen Pendidikan dan Pelatihan
19. Departemen Hubungan Kerja sama Luar Negeri
20. Departemen Pengembangan Karier dan Profesi
21. Departemen Kerohanian
22. Departemen Pemberdayaan Perempuan
23. Departemen Pengembangan Kesenian, Kebudayaan dan Olahraga
24. Departemen Pengabdian Masyarakat
25. Departemen Advokasi dan Perlindungan Hukum

Pasal 27
Pemilihan Pengurus Besar
(1) Pada setiap Kongres, Pengurus Besar mengakhiri masa baktinya dan diselenggarakan pemilihan Pengurus Besar yang baru.
(2) Calon Pengurus Besar wajib tercantum dalam daftar nama calon tetap yang diusulkan Pengurus PGRI Provinsi/ Kabupaten/Kota dan disahkan oleh Kongres.
(3) Pengurus Besar PGRI dipilih oleh Kongres, yang dalam hal ini berturut-turut memilih Ketua Umum (F1), enam Ketua dalam satu paket (F2), dan Sekretaris Jenderal (F3) melalui pemungutan suara secara bebas dan rahasia.
(4) Kedelapan pengurus terpilih tersebut menjadi formatur yang bertugas melengkapi susunan Pengurus Besar sesuai dengan pasal 25 dan pasal 26 Anggaran Rumah Tangga yang diambil dari daftar calon Pengurus Besar PGRI tersebut pada ayat (2) pasal ini dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
(5) Serah terima Pengurus Besar lama kepada Pengurus Besar baru dilakukan di hadapan peserta Kongres yang bersangkutan. Hal-hal yang berkaitan dengan invenrais, kekayaan dan keuangan organisasi masih menjadi tanggungan Pengurus lama sampai ada penyelesaian dengan pengurus baru selambat-lambatnya 15 hari setelah kongres.
(6) Pemilihan Pengurus Besar dipimpin Panitia Pemilihan Pengurus Besar PGRI yang susunan dan keanggotaannya disahkan oleh Kongres.
(7) Sebelum memulai tugasnya, seluruh Pengurus Besar mengucapkan janji di hadapan peserta kongres yang memilihnya.
(8) Dalam hal kekosongan anggota Pengurus Besar, pengisian dilakukan oleh Rapat Pengurus Besar dan hasilnya dilaporkan kepada Konferensi Kerja Nasional, kecuali untuk jabatan Pengurus Harian terpilih pengisiannya wajib dilakukan oleh Konferensi Kerja Nasional dengan tetap mengindahkan pasal 25 dan pasal 26 Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 28
Tugas dan Tanggung Jawab Pengurus Besar
(1) Pengurus Besar PGRI bertugas menentukan kebijakan organisasi dan melaksanakan segala ketentuan dan kebijakan sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan-keputusan Kongres, Kongres Luar Biasa, Konferensi Kerja Nasional dan Rapat Pengurus Besar PGRI.
(2) Penjabaran tugas Pengurus Besar diatur tersendiri dalam ketentuan organisasi yang menjadi bagian tak terpisahkan dan tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
(3) Dalam menjalankan kebijakan tersebut, Pengurus Besar PGRI merupakan badan pelaksana tertinggi yang bersifat kolektif.
(4) Pengurus Besar mewakili PGRI di dalam dan di luar pengadilan yang pelaksanaannya diatur dalam peraturan organisasi.
(5) Pengurus Besar bertanggung jawab kepada Kongres atas kepengurusan organisasi untuk masa baktinya.
(6) Pengurus Besar bertangung jawab atas pelaksanaan Kode Etik Profesi Guru Indonesia, Ikrar Guru Indonesia, Anggaran Dasar, dan Anggaran Rumah Tangga serta keputusan Kongres dan Konferensi Kerja Nasional.

BAB X
PENGURUS PGRI PROVINSI

Pasal 29
Susunan Pengurus
(1) Dalam kepengurusan PGRI perlu dilaksanakan kesetaraan gender.
(2) Pengurus PGRI Provinsi berjumlah paling banyak 21 orang dengan susunan sebagai berikut
a. Pengurus Harian berjumlah 9 orang
1. Ketua
2. Wakil Ketua
3. Wakil Ketua
4. Wakil Ketua
5. Sekretaris Umum
6. Wakil Sekretaris Umum
7. Wakil Sekretaris Umum
8. Bendahara
9. Wakil Bendahara

b. Pengurus PGRI Provinsi dapat dilengkapi paling banyak 12 (dua belas) Ketua Biro yang nama, susunan, serta fungsinya dapat mengacu pada susunan serta fungsi Departemen di Pengurus Besar atau berdasar pada pembagian tugas dan fungsi organisasi yang disesuaikan dengan kondisi daerah, efektivitas serta efisiensi, dan atau bidang tugas yang terkait dengan program organisasi.

Pasal 30
Tugas dan Tanggung Jawab Pengurus Provinsi
(1) Pengurus PGRI Provinsi bertugas dan berkewajiban :
a. Menentukan kebijakan organisasi dan melaksanakan segala ketentuan dan kebijakan sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, keputusan-keputusan Kongres, Kongres Luar Biasa, Konferensi Kerja Nasional, Konferensi PGRI Provinsi, Konferensi Kerja PGRI Provinsi, dan Rapat Pengurus PGRI Provinsi di wilayahnya.
b. Melaksanakan program kerja organisasi baik program kerja nasional maupun program kerja provinsi.
c. Mengawasi, mengkoordinasi, membimbing dan membina aktifitas Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.
d. Menegakkan disiplin organisasi dan mengatur ketertiban serta kelancaran keuangan Pengurus Besar dan Pengurus Provinsi.
(2) Penjabaran tugas Pengurus Provinsi diatur dalam ketentuan organisasi yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dan tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
(3) Pengurus PGRI Provinsi bertanggungjawab atas terlaksananya segala ketentuan dalam Kode Etik Profesi Guru Indonesia, Ikrar Guru Indonesia, Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Kongres, Konferensi Kerja Nasional, Konferensi PGRI Provinsi serta Konferensi Kerja PGRI Provinsi.
(4) Pengurus PGRI Provinsi bertanggung jawab kepada Konferensi PGRI Provinsi atas kepengurusan organisasi untuk masa baktinya.
(5) Dalam menjalankan kebijakan tersebut, pengurus PGRI Provinsi merupakan badan pelaksana tertinggi di wilayahnya yang bersifat kolektif berdasarkan pada prinsip keterbukaan, tanggung jawab, demokrasi, dan kekeluargaan.
(6) Pengurus PGRI Provinsi berkewajiban mengirimkan laporan kepada Pengurus Besar setiap 6 (enam) bulan sekali.

Pasal 31
Pemilihan Pengurus PGRI Provinsi
(1) Pada setiap Konferensi PGRI Provinsi yang diadakan paling lambat 6 (enam) bulan setelah Kongres, Pengurus PGRI Provisi wajib mengakhiri masa baktinya dan diselenggarakan pemilihan Pengurus PGRI Provinsi yang baru.
(2) Bakal Calon Pengurus PGRI Provinsi wajib tercantum dalam daftar nama calon yang diusulkan Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus paling lambat satu bulan sebelum Konferensi Provinsi.
(3) Tata cara dan proses pencalonan diatur sebagai berikut :
a. Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus berhak mencalonkan sebanyak-banyaknya 18 orang bakal calon yang memenuhi syarat sesuai pasal 25 Anggaran Rumah Tangga.
b. Sebelum diajukan untuk menjadi calon tetap dan disahkan Konferensi PGRI Provinsi, sebuah Panitia Khusus meneliti semua persyaratan teknis dan administratif para bakal calon dan menyampaikan rekomendasi kepada Konferensi.
c. Panitia Khusus diangkat dan ditetapkan Konferensi Kerja PGRI Provinsi terakhir yang terdiri dari wakil lima Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.
(4) Tata cara dan proses pemilihan Pengurus PGRI Provinsi diatur sebagai berikut :
a. Konferensi memilih secara langsung berturut-turut Ketua (F1), tiga Wakil Ketua (F2) dalam satu paket, dan Sekretaris Umum (F3).
b. Calon Pengurus harus terdaftar dalam daftar calon yang diusulkan oleh Pengurus Cabang/Cabang Khusus.
c. Kelima Pengurus Harian terpilih tersebut bertindak selaku formatur dengan wewenang dari Konferensi untuk melengkapi susunan Pengurus PGRI Provinsi seperti dimaksud pasal 25 dan pasal 29 dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%..
d. Formatur wajib melengkapi susunan Pengurus PGRI Provinsi dari nama-nama yang tercantum dalam daftar calon yang diseleksi oleh Konferensi PGRI Provinsi tersebut.
e. Pemilihan Pengurus PGRI Provinsi dipimpin oleh Pengurus Besar PGRI yang dibantu oleh Panitia Pelaksana Pemilihan Pengurus PGRI Provinsi yang susunan dan keanggotaannya disahkan oleh Konferensi PGRI Provinsi di antara peserta Konferensi PGRI Provinsi tanpa mengikutsertakan anggota Pengurus PGRI Provinsi yang lama.
(5) Serah terima Pengurus PGRI Provinsi lama kepada Pengurus PGRI Provinsi baru dilakukan di hadapan peserta konferensi yang bersangkutan. Hal-hal yang berkaitan dengan inventaris, kekayaan dan keuangan organisasi masih menjadi tanggungan Pengurus PGRI Provinsi yang lama sampai ada penyelesaian dengan PGRI Provinsi yang baru selambat-lambatnya15 hari setelah konferensi.
(6) Sebelum memulai tugasnya, seluruh anggota Pengurus PGRI Provinsi dilantik oleh Pengurus Besar dan mengucapkan janji di hadapan peserta Konferensi yang memilihnya.
(7) Dalam hal terjadi kekosongan anggota Pengurus PGRI Provinsi, pengisiannya dilakukan oleh Rapat Pengurus PGRI Provinsi dan hasilnya dilaporkan kepada Konferensi Kerja Provinsi kecuali untuk jabatan Pengurus Harian terpilih, pengisiannya wajib dilakukan oleh Konferensi Kerja PGRI Provinsi dengan tetap mengindahkan pasal 29, 30, dan pasal 31 ayat (2) Anggaran Rumah Tangga.

BAB XI
PENGURUS PGRI KABUPATEN/KOTA

Pasal 32
Susunan Pengurus
(1) Pengurus PGRI Kabupaten/Kota berjumlah paling banyak 19 orang dengan susunan sebagai berikut :
a. Pengurus Harian berjumlah 7 orang terdiri dari :
1. Ketua
2. Wakil Ketua
3. Wakil Ketua
4. Sekretaris
5. Wakil Sekretaris
6. Bendahara
7. Wakil Bendahara
b.Pengurus PGRI Kabupaten/Kota dapat dilengkapi dengan paling banyak 12 (dua belas) Bidang yang susunan serta fungsinya dapat mengacu pada susunan serta fungsi biro pada Pengurus PGRI Provinsi atau disesuaikan dengan kebutuhan PGRI Kabupaten/Kota.
(2) Pembagian tugas dan fungsi sekretaris bidang dapat dilaksanakan berdasar pada acuan pembagian tugas dan fungsi sekretaris bidang di Pengurus PGRI Provinsi yang disesuaikan dengan kondisi daerah, efektifitas serta efisiensi, dan/atau bidang tugas yang terkait dengan program organisasi.


Pasal 33
Tugas dan Tanggung Jawab Pengurus PGRI Kabupaten/Kota
(1) Pengurus PGRI Kabupaten/Kota bertugas dan berkewajiban :
a. Menentukan kebijakan Organisasi dan melaksanakan segala ketentuan dan kebijakan sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan-keputusan Kongres, Kongres Luar Biasa, Konferensi Kerja Nasional, Konferensi PGRI Provinsi dan Kabupaten/Kota, Konferensi Kerja PGRI Provinsi dan Kabupaten/Kota dan Rapat Pengurus PGRI Kabupaten/Kota di wilayahnya.
b. Melaksanakan program kerja nasional di wilayahnya, program kerja provinsi di wilayahnya, dan program kerja PGRI Kabupaten/Kota.
c. Mengawasi, mengkoordinasi, membimbing dan membina aktifitas Pengurus Cabang.
d. Menegakkan disiplin organisasi dan mengatur ketertiban serta kelancaran keuangan Pengurus Besar, Pengurus PGRI Provinsi dan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.
(2) Penjabaran tugas Pengurus PGRI Kabupaten/Kota diatur dalam ketentuan organisasi yang menjadi bagian tak terpisahkan dan tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
(3) Pengurus PGRI Kabupaten/Kota bertanggungjawab atas terlaksananya segala ketentuan dalam Kode Etik Profesi Guru Indonesia, Ikrar Guru Indonesia, Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Kongres, Konferensi Kerja Nasional, Konferensi PGRI Provinsi dan Kabupaten/Kota, Konferensi Kerja PGRI Provinsi dan Kabupaten/Kota dan Rapat Pengurus PGRI Kabupaten/Kota di wilayahnya.
(4) Pengurus PGRI Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Konferensi PGRI Kabupaten/Kota atas kepengurusan organisasi untuk masa baktinya.
(5) Pengurus PGRI Kabupaten/Kota merupakan badan pelaksana organisasi tertinggi di wilayahnya yang bersifat kolektif dengan berlandaskan pada prinsip keterbukaan, demokrasi, tanggung jawab, dan kekeluargaan.
(6) Pengurus PGRI Kabupaten/Kota berkewajibanmengirimkan laporan kepada Pengurus PGRI Provinsi dengan tembusan kepada Pengurus Besar setiap 6 (enam) bulan sekali.

Pasal 34
Pemilihan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota
(1) Pengurus PGRI Kabupaten/Kota dipilih oleh Konferensi PGRI Kabupaten/Kota yang wajib diadakan paling lambat 6 (enam) bulan setelah Konferensi PGRI Provinsi.
(2) Bakal calon Pengurus PGRI Kabupaten/Kota harus terdaftar dalam daftar calon yang diusulkan oleh Pengurus Ranting dan/atau perwakilan anggota.
(3) Tata cara dan proses pencalonan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota dilaksanakan sebagai berikut :
a. Pengurus PGRI baik ranting unit kerja maupun ranting desa dan/atau perwakilan anggota sekurang-kurangnya 25 anggota yang tidak termasuk ranting berhak mencalonkan sebanyak-banyaknya 13 orang bakal calon yang memenuhi syarat sesuai pasal 25.
b. Sebelum diajukan untuk menjadi calon tetap dan disahkan Konferensi PGRI Kabupaten/Kota, sebuah Panitia Khusus meneliti semua persyaratan teknis dan administratif para bakal calon dan menyampaikan rekomendasinya kepada Konferensi.
c. Panitia Khusus diangkat dan ditetapkan Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota terakhir yang terdiri dari wakil lima Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus.
d. Jika Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus kurang dari lima, Panitia Khusus dapat dilengkapi hingga berjumlah lima dari Pengrus PGRI Ranting dari ibukota Kabupaten/Kota.
(4) Tata cara dan proses pemilihan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota diatur sebagai berikut :
a. Konferensi memilih secara berturut-turut Ketua (F1), dua Wakil Ketua (F2) dalam satu paket, Sekretaris (F3), melalui pemungutan suara secara bebas dan rahasia.
b. Calon Pengurus harus terdaftar dalam daftar calon yang diusulkan oleh Pengurus Ranting dan/atau perwakilan anggota.
c. Keempat Pengurus Harian terpilih tersebut bertindak selaku formatur dengan wewenang dari Konferensi untuk melengkapi susunan Pengurus PGRI Kabupaten/ Kota seperti termaksud pasal 25 dan 29 dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% .
d. Formatur wajib melengkapi susunan Pengurus Kabupaten/Kota dari nama-nama yang tercantum dalam daftar calon yang disahkan oleh Konferensi PGRI Kabupaten/Kota tersebut.
e. Pemilihan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota dipimpin oleh Pengurus PGRI Provinsi yang dibantu oleh Panitia Pelaksana Pemilihan Pengurus PGRI Kabupaten/ Kota yang susunan dan keanggotaannya disahkan oleh Konferensi PGRI Kabupaten/Kota di antara peserta Konferensi PGRI Kabupaten/Kota tanpa mengikutsertakan anggota Pengurus PGRI Kabupaten/Kota yang lama.
(5) Serah terima Pengurus PGRI Kabupaten/Kota yang lama kepada Pengurus PGRI Kabupaten/Kota yang baru dilakukan di hadapan peserta konferensi Kabupaten/Kota yang memilihnya. Hal-hal yang berkaitan dengan inventaris, kekayaan dan keuangan organisasi masih menjadi tanggungan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota yang lama sampai ada penyelesaian dengan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota yang baru selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah konferensi.
(6) Sebelum memulai tugasnya, seluruh anggota Pengurus PGRI Kabupaten/Kota dilantik oleh Pengurus PGRI Provinsi dan mengucapkan janji dihadapan peserta Konferensi PGRI Kabupaten/Kota yang memilihnya.
(7) Dalam hal terjadi kekosongan anggota Pengurus PGRI Kabupaten/Kota, pengisiannya dilakukan oleh Rapat Pengurus PGRI Kabupaten/Kota dan hasilnya dilaporkan kepada Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota kecuali untuk jabatan Pengurus Harian Terpilih, pengisiannya wajib dilakukan oleh Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota dengan tetap mengindahkan pasal 29, 30, dan pasal 31 ayat (2) Anggaran Rumah Tangga.

BAB XII
PENGURUS PGRI CABANG/CABANG KHUSUS

Pasal 35
Susunan Pengurus
Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus terdiri dari 17 orang dengan susunan sebagai berikut :
a. Pengurus Harian sebanyak 5 orang yang terdiri dari :
1. Ketua
2. Wakil Ketua
3. Sekretaris
4. Wakil Sekretaris
5. Bendahara
b. Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus dapat dilengkapi paling banyak 12 (duabelas) seksi, yang nama, susunan serta fungsinya dapat mengacu pada nama, susunan serta fungsi bagian pada Pengurus PGRI Kabupaten/Kota atau disesuaikan dengan kondisi daerah.

Pasal 36
Tugas dan Tanggung Jawab Pengurus Cabang
(1) Pengurus Cabang bertugas menentukan kebijakan organisasi dan berkewajiban untuk melaksanakan segala ketentuan dan kebijakan sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan-keputusan Kongres, Kongres Luar Biasa, Konferensi Kerja Nasional, Konferensi PGRI Provinsi, Kabupaten/Kota dan Cabang, Konferensi Kerja PGRI Provinsi, Kabupaten/Kota dan Cabang, Rapat Pengurus Cabang di wilayahnya.
(2) Penjabaran tugas Pengurus Cabang dan Cabang Khusus diatur dalam ketentuan organisasi yang menjadi bagian tak terpisahkan dan tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
(3) Tugas pokok Pengurus Cabang meliputi antara lain :
a. Mengawasi, mengkoordinasi, membimbing, dan membina aktifitas Pengurus Ranting dan Anggota.
b. Menegakkan disiplin organisasi dan mengatur ketertiban serta kelancaran keuangan Pengurus Besar, Pengurus PGRI Provinsi, Pengurus PGRI Kabupaten/Kota dan Pengurus Cabang.
(4) Pengurus Cabang bertanggungjawab atas terlaksananya segala ketentuan dalam Kode Etik Guru Indonesia, Ikrar Guru Indonesia, Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Kongres, Konferensi Kerja Nasional, Konferensi PGRI Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Konferensi Kerja Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
(5) Pengurus Cabang bertanggungjawab kepada Konferensi Cabang atas kepengurusan organisasi untuk masa baktinya.
(6) Dalam menjalankan kebijakan tersebut, Pengurus Cabang merupakan badan pelaksana tertinggi di wilayahnya yang bersifat kolektif.
(7) Pengurus Cabang berkewajiban mengirimkan laporan kepada Pengurus PGRI Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Pengurus PGRI Provinsi setiap 6 (enam) bulan sekali.

Pasal 37
Pemilihan Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus
(1) Pengurus Cabang dipilih oleh Konferensi PGRI Cabang/Cabang Khusus yang diadakan setelah masa baktinya berakhir.
(2) Pemilihan Pengurus Cabang dapat dilaksanakan secara langsung dan/atau perwakilan.
(3) Konferensi PGRI Cabang memilih berturut-turut Ketua (F1), seorang Wakil Ketua (F2), dan Sekretaris (F3), melalui pemungutan suara secara bebas dan rahasia.
(4) Ketiga Pengurus tersebut bertindak selaku formatur dengan wewenang dari Konferensi untuk melengkapi susunan Pengurus Cabang seperti yang termaksud dalam pasal 25 dan pasal 35.
(5) Formatur melengkapi susunan Pengurus PGRI Cabang dari nama-nama yang tercantum dalam daftar calon Pengurus Cabang yang disahkan oleh rapat Pengurus Cabang tersebut.
(6) Pencalonan Pengurus Cabang dilaksanakan oleh Konferensi Cabang.
(7) Serah terima Pengurus PGRI Cabang/cabang Khusus yang lama kepada Pengurus PGRI Cabang/cabang Khusus yang baru dilakukan di hadapan peserta konferensi Cabang/cabang Khusus yang memilihnya. Hal-hal yang berkaitan dengan inventaris, kekayaan dan keuangan organisasi masih menjadi tanggungan Pengurus PGRI Cabang/cabang Khusus yang lama sampai ada penyelesaian dengan Pengurus PGRI Cabang/cabang Khusus yang baru selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah konferensi.
(8) Dalam hal terjadi kekosongan anggota pengurus, pengisiannya dilakukan oleh Rapat Pleno Pengurus Cabang, kecuali untuk jabatan Pengurus Harian terpilih pengisiannya wajib dilakukan Konferensi Kerja Cabang PGRI dengan tetap mengindahkan pasal 29, 30 dan pasal 31 ayat (2) Anggaran Rumah Tangga.
(9) Pemilihan Pengurus Cabang/Cabang Khusus dipimpin oleh Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.
(10) Sebelum memulai tugasnya, Pengurus Cabang mengucapkan janji dan dilantik oleh Pengurus PGRI Kabupaten/Kota dihadapan peserta Konferensi Cabang yang memilihnya.

BAB XIII
PENGURUS RANTING

Pasal 38
Susunan Pengurus Ranting
Susunan Pengurus Ranting terdiri dari :
a. Ketua
b. Wakil Ketua
c. Sekretaris
d. Bendahara
e. Sebanyak-banyaknya empat orang anggota pengurus




Pasal 39
Tugas dan Tanggung Jawab Pengurus Ranting

(1) Pengurus Rating bertugas melaksanakan segala ketentuan dan kebijakan sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan-keputusan Forum Organisasi yang lebih tinggi, Rapat Anggota, dan Rapat Pengurus Ranting di wilayahnya.
(2) Penjabaran tugas Pengurus Ranting diatur dalam ketentuan organisasi menjadi bagian tak terpisahkan dan tidak bertentangan dengan Anggaran Rumah Tangga.
(3) Tugas pokok Pengurus Ranting meliputi antara lain:
a. Mengawasi, mengkoordinasi, membimbing, dan membina aktifitas para anggota.
b. Menegakkan disiplin organisasi dan mengatur ketertiban serta kelancaran iuran anggota serta penyelurannya sesuai ketentuan organisasi.
(4) Pengurus Ranting bertanggungjawab atas terlaksananya ketentuan dalam Kode Etik Profesi Guru Indonesia, Ikrar Guru Indonesia, Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan-keputusan Forum Organisasi yang lebih tinggi, Rapat Anggota, dan Rapat Pengurus Ranting di wilayahnya.
(5) Dalam menjalankan kebijakan tersebut, Pengurus Ranting merupakan badan pelaksana di wilayahnya yang bersifat kolektif.
(6) Pengurus Ranting bertanggungjawab kepada Rapat Anggota atas kepengurusan organisasi untuk masa baktinya.
(7) Pengurus Ranting berkewajiban mengirimkan laporan kepada Pengurus Cabang dengan tembusan kepada Pengurus PGRI Kabupaten/Kota setiap 6 (enam) bulan sekali.

Pasal 40
Pemilhan Pengurus Ranting
(1) Pengurus Ranting dipilih oleh Rapat Anggota yang diadakan setelah masa baktinya berakhir.
(2) Rapat Anggota memilih secara langsung berturut-turut seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, seorang Sekretaris, seorang Bendahara, dan sebanyak-banyaknya 4 orang Anggota Pengurus melalui pemungutan suara secara bebas dan rahasia.
(3) Pencalonan Pengurus Ranting dilaksanakan oleh Rapat Anggota dan Pengurus Ranting wajib dipilih dari daftar calon yang disahkan dalam Rapat Anggota tersebut.
(4) Serah terima Pengurus Ranting lama kepada Pengurus Ranting baru dilakukan langsung dalam Rapat Anggota itu juga.
(5) Dalam hal terjadi kekosongan Anggota Pengurus, pengisiannya dilakukan oleh Rapat Pengurus Ranting yang kemudian mempertanggungjawabkannya pada Rapat Anggota.
(6) Pemilihan Pengurus Ranting dipimpin oleh Pengurus Cabang.
(7) Sebelum memulai tugasnya, Pengurus Ranting dilantik oleh Pengurus Cabang dan mengucapkan janji dihadapan peserta Rapat Anggota yang memilihnya.









BAB XIV
ANAK LEMBAGA DAN BADAN KHUSUS PGRI

Pasal 41
Anak Lembaga
(1) Untuk membantu mencapai tujuan organisasi Pengurus Besar PGRI membentuk Anak Lembaga PGRI yang bertugas mengelola bidang-bidang kedudukan, tugas, wewenang, dan pimpinannya ditetapkan oleh dan bertanggungjawab kepada Pengurus Besar PGRI.
(2) Pengurus Anak Lembaga PGRI di tingkat daerah ditetapkan diangkat dan bertanggungjawab kepada badan organisasi sesuai tingkatannya.
(3) Fungsi-fungsi anak lembaga menyangkut pelaksanaan, teknis edukatif dan teknis administratif menjadi kewenangan anak lembaga yang bersangkutan.
(4) Salah seorang anggota Badan Pimpinan Organisasi kecuali Ketua Umum, Ketua PGRI Provinsi/Kabupaten/Kota, Sekretaris Jendral, Sekretaris Umum, Sekretaris dan Bendahara diangkat menjadi ketua anak lembaga sesuai tingkatannya.
(5) Pengurus PGRI Provinsi, Kabupaten/Kota menjadi pembina Anak Lembaga PGRI sejalan dengan ketentuan dan kebijakan Pengurus Besar PGRI serta Pimpinan Anak Lembaga Tingkat Nasional yang bersangkutan.
(6) Masa bakti Pengurus Anak Lembaga PGRI sama dengan masa bakti Pengurus sesuai tingkatannya di tempatnya masing-masing.
(7) Terkecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan negara, akte pendirian sebagai badan hukum sebuah Anak Lembaga dibuat dan diselenggarakan ditingkat nasional yang berlaku dan dapat digunakan oleh semua Anak Lembaga yang sama di daerahnya.
(8) Semua ketentuan mengenai kedudukan, tugas. wewenang, struktur, dan mekanisme kerja Anak Lembaga PGRI baik yang sudah ada maupun yang disusun dalam AD dan ART serta ketentuan Anak Lembaga tersebut wajib sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan AD dan ART serta peraturan organisasi PGRI.


Pasal 42
Badan Khusus
(1) Pengurus PGRI di setiap tingkatan dapat membentuk badan khusus yang berfungsi melaksanakan sebagian tugas organisasi untuk mencapai tujuan tertentu dalam kurun waktu tertentu.
(2) Kedudukan, tugas dan fungsi badan khusus diatur dan ditetapkan pengurus organisasi di tingkatannya masing-masing.
(3) Badan Khusus dapat dibentuk antara lain; kelompok kerja, tim verifikasi keuangan, koperasi guru/karyawan PGRI, Bank Guru Indonesia, dana kesejahteraan, dana kematian dan dana sosial.


BAB XV
HIMPUNAN PROFESI DAN KEAHLIAN SEJENIS

Pasal 43
(1) Dalam upaya peningkatan mutu profesi guru, perlu didayagunakan berbagai ikatan guru sejenis.
(2) Untuk menguatkan serta memperlancar mekanisme kerja dalam jaringan organisasi Departemen/Biro/Bidang Pengembangan Karier dan Profesi menjadi tugas dan tanggung jawab Departemen himpunan/Ikatan/Asosiasi profesi dan keahlian sejenis
(3) Terhadap organisasi profesi di bidang pendidikan lainnya perlu dilakukan kerja sama atas dasar kemitrasejajaran dalam rangka peningkatan mutu profesi serta kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan lainnya.
(4) Ketentuan tentang status, struktur, kedudukan, tugas, wewenang, dan hubungan kerja Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis dengan PGRI diatur dalam peraturan tersendiri.

BAB XVI
FORUM ORGANISASI

Pasal 44
Jenis Forum Organisasi
Jenis Forum Organisasi :
a. Kongres
b. Kongres Luar Biasa
c. Konferensi Kerja Nasional (KONKERNAS)
d. Konferensi PGRI Provinsi (KONPROV)
e. Konferensi PGRI Provinsi Luar Biasa (KONPROVLUB)
f. Konferensi Kerja PGRI Provinsi (KONKERPROV)
g. Konferensi PGRI Kabupaten/Kota (KONKAB/KONKOT)
h. Konferensi PGRI Kabupaten/Kota Luar Biasa (KONKABLUB/ KONKOTLUB)
i. Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota (KONKERKAB/ KONKERKOT)
j. Konferensi Cabang/Cabang Khusus
(KONCAB/KONCABSUS)
k. Konferensi PGRI Cabang/Cabang Khusus Luar Biasa
(KONCABLUB/KONCABSUSLUB)
l. Konferensi Kerja PGRI Cabang/Cabang Khusus
(KONKERCAB/KONKERCABSUS)
m. Rapat Anggota PGRI Ranting (RAPRAN)
n. Rapat Pengurus dan Pertemuan lain

Pasal 45
K o r u m
(1) Kongres dianggap sah apabila jumlah Kabupaten/Kota yang hadir lebih dari ½ (seperdua) dan mewakili lebih dari ½ (seperdua) jumlah suara.
(2) Konferensi dianggap sah jika jumlah PGRI Provinsi yang yang hadir lebih dari ½ (seperdua) dan mewakili lebih dari ½ (seperdua) jumlah suara.
(3) Konferensi PGRI Provinsi dan Kabupaten/Kota dianggap sah jika jumlah Cabang yang hadir lebih dari ½ (seperdua) dan mewakili lebih dari ½ (seperdua) jumlah suara.
(4) Rapat Anggota dan Rapat Pengurus dianggap sah jika jumlah yang hadir lebih dari ½ (seperdua) jumlah suara.
(5) Jika suatu rapat terpaksa ditunda karena tidak memenuhi kuorum maka rapat berikutnya diadakan secepatnya 1 (satu) hari dan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari dengan undangan dan acara yang sama tanpa harus memenuhi persyaratan kuorum.

Pasal 46
Pengambilan Keputusan
(1) Keputusan diambil dengan cara musyawarah mufakat.
(2) Apabila upaya untuk mencapai mufakat tidak berhasil maka diputuskan dengan suara terbanyak.



BAB XVII
K O N G R E S

Pasal 47
Waktu dan Sifat
(1) Kongres diselenggarakan dan dipimpin oleh Pengurus Besar setiap 5 (lima) tahun sekali.
(2) Kongres Luar Biasa diadakan :
a. Jika Konferensi Kerja Nasional menganggap perlu, atas dasar keputusan yang disetujui paling sedikit ²∕3 (duapertiga) jumlah suara yang hadir.
b. Atas permintaan lebih dari ½ (seperdua) jumlah Kabupaten/Kota yang mewakili lebih dari ½ (seperdua) jumlah suara.
c. Bila dipandang perlu oleh Pengurus Besar dan disetujui Konferensi Kerja Nasional.
(3) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sesudah keputusan atau permintaan tersebut ayat (2) (a), (b) atau (c) pasal ini diterima, Pengurus Besar wajib menyelenggarakan Kongres Luar Biasa.
(4) Kongres Luar Biasa Khusus yang membicarakan pembubaran organisasi dapat dilaksanakan atas permintaan sekurang-kurangnya 2/3 (duapertiga) jumlah Kabupaten/Kota yang mewakili sedikitnya 2/3 (duapertiga) jumlah suara.

Pasal 48
Peserta Kongres
Peserta Kongres terdiri dari :
a. Pengurus Besar PGRI
b. Para Penasihat PGRI
c. Utusan Pengurus Anak Lembaga tingkat nasional
d. Utusan Pengurus Badan Khusus tingkat nasional
e. Utusan Pengurus Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis tingkat nasional
f. Utusan PGRI Provinsi
g. Utusan Kabupaten/Kota
h. Peninjau serta undangan lain yang ditetapkan oleh Pengurus Besar.


Pasal 49
Hak Bicara dan Hak Suara
(1) Tiap peserta mempunyai hak bicara.
(2) Hak suara hanya ada pada utusan Kabupaten/Kota.
(3) Tiap-tiap Kabupaten/Kota mempunyai 1 (satu) suara untuk jumlah sampai dengan 2.000 (dua ribu) anggota.
(4) Jumlah suara Kabupaten/ Kota paling sedikit 1 (satu) dan paling banyak 5 (lima) suara.
(5) Satu Kabupaten/Kota boleh mewakili hanya 1 (satu ) Kabupaten/Kota lain yang berhalangan menghadiri Kongres dengan mandat yang sah.
(6) Mandat untuk mewakili Kabupaten/Kota yang dimaksud dalam ayat (5) pasal ini tidak boleh diberikan kepada Pengurus PGRI Provinsi, Pengurus Besar, dan Anggota Penasihat.



Pasal 50
Acara Kongres
(1) Acara Pokok Kongres paling sedikit wajib membahas dan menetapkan hal-hal sebagai berikut :
a. Laporan pertanggungjawaban Pengurus Besar, mengenai hal-hal :
 Kegiatan pelaksanaan program organisasi selama satu masa bakti,
 Kebijakan keuangan organisasi, inventaris, dan kekayaan organisasi, dan
 Kegiatan dan perkembangan Anak Lembaga, Badan Khusus, dan Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis.
b. Penetapan Program Kerja termasuk rencana anggaran keuangan untuk masa bakti yang akan datang.
c. Pemilihan Pengurus Besar.
(2) Acara lainnya yang ditetapkan dan disahkan Kongres sesuai kewenangan yang diatur dalam AD dan ART serta peraturan organisasi

Pasal 51
Panitia Pemeriksa Keuangan
(1) Untuk memeriksa keuangan dan kekayaan yang menjadi tanggung jawab Pengurus Besar dilaksanakan oleh Panitia Pemeriksa Keuangan yang dibentuk oleh Konferensi Kerja Nasional terakhir sebelum Kongres.
(2) Panitia tersebut terdiri atas 5 (lima) PGRI Provinsi.
(3) Panitia memulai tugasnya paling lambat 3 (tiga) minggu sebelum sidang pertama Kongres bertempat di Pengurus Besar.
(4) Panitia memilih Ketua, Sekretaris dan Pelapor, serta melaporkan hasil pekerjaan Panitia kepada Kongres.
(5) Seluruh pembiayaan panitia menjadi tanggung jawab Pengurus Besar dan dimasukkan dalam anggaran Kongres.

Pasal 52
Panitia Pemeriksa Mandat dan Hak Suara
(1) Pengurus Besar membentuk Panitia Pemeriksa Mandat dan Hak Suara, yang bertugas :
a. Memeriksa mandat dan hak suara Pengurus Kabupaten/Kota yang mengirimkan utusan ke Kongres.
b. melaporkan hasilnya kepada Kongres.
(2) Panitia beranggotakan sebanyak 12 (dua belas) orang mewakili 12 Provinsi yang tidak merangkap Panitia Pemeriksa Keuangan.
(3) Panitia pemeriksa Mandat dan Hak Suara wajib menyelesaikan tugasnya sebelum sidang pertama Kongres dimulai.
(4) Panitia memilih Ketua, Sekretaris dan Pelapor serta melaporkan hasil pekerjaannya kepada Kongres.
(5) Jumlah suara Kabupaten/Kota dalam Kongres ditetapkan berdasarkan daftar anggota Kabupaten/Kota di Pengurus Besar yang ditutup 2 (dua) bulan sebelum Kongres di mulai.

Pasal 53
Panitia Pemilihan Pengurus Besar
(1) Panitia Pemilihan Pengurus Besar terdiri atas utusan Pengurus PGRI Provinsi masing-masing 1 (satu) orang wakil.
(2) Panitia bertugas mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan pengurus serta menyusun berita acara hasil pemilihan yang dilaporkan kepada Kongres.
(3) Panitia Pemilihan memilih Ketua, Sekretaris, dan Pelapor serta melaporkan hasil pekerjaanya kepada Kongres.

BAB XVIII
KONFERENSI KERJA NASIONAL

Pasal 54
S t a t u s
(1) Konferensi Kerja Nasional adalah rapat antar Pengurus PGRI Provinsi yang diselenggarakan dan dipimpin oleh Pengurus Besar dan merupakan instansi tertinggi di bawah Kongres.
(2) Tugas Konferensi Kerja Nasional ialah menetapkan garis kebijakan yang belum ada dalam Keputusan Kongres selama masa antara Kongres.
(3) Pengurus PGRI Provinsi ikut bertanggungjawab tentang Keputusan Konferensi Kerja Nasional kepada Kongres.
Pasal 55
W a k t u
(1) Konferensi Kerja Nasional diadakan 1 (satu) tahun sekali.
(2) Konferensi Kerja Nasional pertama dalam masa bakti yang baru diadakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) bulan sesudah Kongres.
(3) Konferensi Kerja Nasional terakhir dalam masa bakti itu diadakan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum Kongres.
(4) Konferensi Kerja Nasional dapat diadakan :
a. Jika Pengurus Besar menganggap perlu.
b. Atas permintaan ½ (seperdua) jumlah Pengurus PGRI Provinsi dan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sesudah permintaan tersebut, Pengurus Besar wajib menyelenggarakannya.

Pasal 56
Peserta Konferensi Kerja Nasional
Peserta Konferensi Kerja Nasional terdiri dari :
a. Pengurus Besar PGRI
b. Badan Penasihat PB PGRI
c. Pengurus Anak Lembaga PGRI tingkat Nasional
d. Pengurus Badan Khusus PGRI tingkat Nasional
e. Pengurus Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis PGRI tingkat Nasional
f. Utusan Pengurus PGRI Provinsi
g. Peninjau serta undangan lain yang ditetapkan oleh Pengurus Besar.

Pasal 57
Hak Bicara dan Hak Suara
(1) Dalam Konferensi Kerja Nasional semua peserta mempunyai hak bicara.
(2) Hak Suara ada pada utusan-utusan Pengurus PGRI Provinsi dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Tiap PGRI Provinsi memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) suara dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) suara.
b. Tiap 30.000 (tiga puluh ribu) anggota berhak 1 (satu) suara.


Pasal 58
Kewajiban Konferensi Kerja Nasional
(1) Membahas dan menilai cara pelaksanaan Keputusan Kongres oleh Pengurus Besar.
(2) Menetapkan ketentuan-ketentuan umum, rencana kerja tahunan dan kebijakan yang bersifat nasional yang belum ditetapkan dalam Kongres baik ke dalam maupun ke luar yang tidak bertentangan dengan Keputusan Kongres.
(3) Menentukan penggantian anggota Pengurus Harian terpilih Pengurus Besar yang berhalangan tetap, berhenti dan/atau diberhentikan sebelum masa jabatan berakhir.
(4) Membahas dan menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Organisasi (RAPBO) Pengurus Besar untuk tahun mendatang.
(5) Membicarakan dan mengesahkan laporan Pengurus Besar untuk disampaikan kepada Kongres dan membicarakan persidangan-persidangan lain untuk Kongres.
(6) Konferensi Kerja Nasional pertama masa bakti kepengurusan wajib menetapkan program kerja Pengurus Besar selama lima tahunan.
(7) Konferensi Kerja Nasional terakhir dari masa bakti kepengurusan wajib menetapkan Panitia Pemeriksa Keuangan Pengurus Besar dan Panitia Pemeriksa Mandat dan Hak Suara untuk Kongres yang akan datang.

BAB XIX
KONFERENSI PGRI PROVINSI

Pasal 59
W a k t u
(1) Konferensi PGRI Provinsi diadakan dan dipimpin oleh Pengurus PGRI Provinsi tiap 5 (lima) tahun sekali.
(2) Konferensi PGRI Provinsi Luar Biasa dapat diadakan :
a. Atas permintaan Konferensi Kerja PGRI Provinsi berdasarkan keputusan 2/3 (dua pertiga) suara dari yang hadir.
b. Atas permintaan lebih dari 1/2 (seperdua) jumlah cabang yang mewakili lebih dari 1/2 (seperdua) jumlah suara.
c. Jika Pengurus Provinsi menganggap perlu dan disetujui Konferensi Kerja Provinsi.
d. Atas permintaan Pengurus Besar.
(3) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah salah satu dan atau semua permintaan tersebut ayat (2) butir a, b, c, atau d diterima. Pengurus PGRI Provinsi wajib menyelenggarakan Konferensi tersebut.

Pasal 60
Peserta
Peserta Konferensi PGRI Provinsi terdiri dari :
a. Utusan Pengurus PGRI Cabang dan Cabang Khusus
b. Utusan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota
c. Pengurus Provinsi
d. Utusan Pengurus Besar
e. Wakil Pimpinan Anak Lembaga dan Badan Khusus Provinsi
f. Wakil Pimpinan Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis Provinsi
g. Badan Penasihat Pengurus PGRI Provinsi
h. Peninjau yang diundang oleh Pengurus Provinsi


Pasal 61
Hak Bicara dan Hak Suara
(1) Dalam Konferensi PGRI Provinsi semua peserta mempunyai hak bicara.
(2) Hak suara hanya ada pada utusan Cabang/Cabang Khusus.
(3) Tiap Cabang mempunyai 1 (satu) suara untuk 200 (dua ratus) orang anggota.
(4) Jumlah suara 1 (satu) cabang sedikitnya 1 (satu) dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) suara.
(5) Cabang boleh mewakili 1 (satu) Cabang lain yang berhalangan menghadiri Konferensi PGRI dengan mandat yang sah.
(6) Hak suara Cabang Khusus hanya 1 (satu) suara


Pasal 62
Acara Konferensi PGRI Provinsi
(1) Acara Pokok Konferensi PGRI Provinsi paling sedikit wajib membahas dan menetapkan hal-hal sebagai berikut :
a. Laporan pertanggungjawaban Pengurus PGRI Provinsi mengenai hal-hal :
1. Kegiatan pelaksanaan program organisasi selama satu masa bakti.
2. Kebijakan keuangan, inventaris, dan kekayaan Organisasi PGRI Provinsi.
3. Kegiatan dan Perkembangan Anak Lembaga, Badan Khusus, dan Himpunan/Ikatan/ Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis Provinsi.
b. Penetapan Program Kerja termasuk rencana anggaran keuangan dan untuk masa bakti yang akan datang.
c. Pemilihan Pengurus PGRI Provinsi masa bakti berikutnya. .
(2) Acara lainnya ditetapkan dan disahkan dalam Konferens tersebut.
(3) Pada dasarnya ketentuan pasal 50 Anggaran Rumah Tanggga berlaku pula bagi pasal ini yang disesuaikan dengan tingkatannya.

Pasal 63
Panitia Pemeriksa Keuangan
(1) Pada dasarnya Pasal 51 Anggaran Rumah Tangga berlaku juga bagi pasal ini dan disesuaikan dengan tingkatannya.
(2) Panitia beranggotakan sedikitnya 3 (tiga) orang mewakili dari 3 (tiga) Kabupaten/Kota.

Pasal 64
Panitia Pemeriksa Mandat dan Hak Suara
(1) Panitia pemeriksa Mandat dan Hak Suara, bertugas :
a. Memeriksa Mandat dan Hak Suara Cabang yang mengirim utusan ke Konferensi PGRI Provinsi.
b. Melaporkan hasil tugasnya kepada Konferensi
PGRI Provinsi.
(2) Panitia terdiri sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili seluruh Kabupaten/Kota, yang tidak merangkap dengan Panitia Pemeriksa Keuangan.
(3) Jika jumlah Kabupaten/Kota kurang dari enam, maka ketentuan ayat (2) pasal ini dapat diwakili oleh Pengurus Kabupaten/Kota yang sama dengan Panitia Pemeriksa Keuangan.
(4) Pada dasarnya ketentuan pasal 52 Anggaran Rumah Tangga berlaku pula bagi pasal ini dan disesuaikan dengan tingkatannya.

Pasal 65
Panitia Pemilihan Pengurus PGRI Provinsi
Pada dasarnya pasal 53 Anggaran Rumah Tangga berlaku juga bagi pasal ini yang disesuaikan dengan tingkatannya

BAB XX
KONFERENSI KERJA PGRI PROVINSI
Pasal 66
Status, Tugas, dan Kewajiban
(1) Konferensi Kerja PGRI Provinsi adalah rapat antar Pengurus PGRI Kabupaten/Kota yang diselenggarakan dan dipimpin oleh Pengurus PGRI Provinsi dan merupakan instansi tertinggi di bawah Konferensi PGRI Provinsi.
(2) Konferensi Kerja PGRI Provinsi bertugas menetapkan program tahunan dan kebijakan organisasi sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan Konferensi PGRI Provinsi.
(3) Pada dasarnya ketentuan pasal 54 Anggaran Rumah Tangga berlaku pula bagi pasal ini yang disesuaikan dengan tingkatannya.

Pasal 67
W a k t u
(1) Konferensi Kerja PGRI Provinsi diadakan 1 (satu) tahun sekali.
(2) Konferensi Kerja PGRI Provinsi yang pertama masa bakti PGRI Provinsi yang baru diadakan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sesudah Konferensi PGRI Provinsi dan Konferensi Kerja PGRI Provinsi terakhir diselenggarakan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum Konferensi PGRI Provinsi.
(3) Konferensi Kerja PGRI Provinsi dapat juga diadakan :
a. Jika Pengurus PGRI Provinsi menganggap perlu.
b. Atas permintaan ½ (seperdua) jumlah PGRI Provinsi yang mewakili lebih ½ (seperdua) jumlah suara.
c. Atas permintaan Pengurus Besar.
(4) Dalam waktu 2 (dua) bulan sesudah salah satu dan/atau semua permintaan tersebut dalam ayat (3) pasal ini diterima, Pengurus PGRI Provinsi wajib menyelenggarakannya.

Pasal 68
Peserta
Peserta Konferensi Kerja PGRI Provinsi terdiri dari:
a. Utusan Pengurus PGRI Cabang Khusus
b. Utusan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota
c. Pengurus Provinsi
d. Utusan Pengurus Besar
e. Wakil Pimpinan Anak Lembaga dan Badan Khusus Provinsi
f. Wakil Pimpinan Himpunan Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis Provinsi
g. Badan Penasihat Pengurus PGRI PRovinsi
h. Peninjau yang diundang oleh Pengurus Provinsi





Pasal 69
Hak Bicara dan Hak Suara
(1) Tiap peserta Konferensi Kerja mempunyai hak bicara.
(2) Hak suara hanya ada pada utusan Pengurus Kabupaten/Kota.
(3) Tiap-tiap Kabupaten/Kota mempunyai 1 (satu) suara untuk jumlah sampai dengan 2.000 (dua ribu) anggota.
(4) Jumlah suara Kabupaten/Kota sedikitnya 1 (satu) dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) suara.
(5) Ketentuan pada pasal 49 dan 57 Anggaran Rumah Tangga pada dasarnya berlaku juga bagi pasal ini dan disesuaikan dengan tingkatannya.

Pasal 70
Kewajiban Konferensi Kerja PGRI Provinsi
(1) Membahas dan menilai pelaksanaan keputusan Konferensi PGRI Provinsi.
(2) Menetapkan rencana kerja tahunan dan kebijakan yang belum ditetapkan sepanjang tidak bertentangan dengan putusan Konferensi PGRI Provinsi.
(3) Menentukan penggantian anggota Pengurus Harian terpilih antar waktu apabila terjadi kekosongan.
(4) Membahas dan menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Organisasi (RAPBO) Pengurus PGRI Provinsi untuk tahun mendatang.
(5) Konferensi Kerja PGRI Provinsi menjelang Kongres sedikitnya menetapkan calon-calon Anggota Panitia Pemilihan Pengurus Besar.

BAB XXI
KONFERENSI KABUPATEN/KOTA

Pasal 71
W a k t u
(1) Konferensi PGRI Kabupaten/Kota diadakan dan dipimpin oleh Pengurus PGRI Kabupaten/Kota tiap 5 (lima) tahun sekali.
(2) Konferensi PGRI Kabupaten/Kota Luar Biasa dapat juga diadakan :
a. Kalau Pengurus PGRI Provinsi menganggap perlu dan disetujui Konferensi Kerja Kabupaten/Kota.
b. Atas permintaan ½ (seperdua) jumlah Cabang dan mewakili lebih ½ (seperdua) jumlah suara.
c. Atas permintaan Pengurus Provinsi.
(3) Dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sesudah salah satu dan/atau semua permintaan tersebut diterima, Pengurus PGRI kabupaten/Kota wajib menyelenggarakannya.

Pasal 72
P e s e r t a
Peserta Konferensi PGRI Kabupaten/Kota terdiri dari :
(a) Utusan Pengurus Ranting
(b) Utusan Pengurus Cabang
(c) Pengurus PGRI Kabupaten/Kota
(d) Utusan Pengurus PGRI Provinsi
(e) Wakil Anak Lembaga dan Badan Khusus tingkat Kabupaten/Kota
(f) Wakil Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis tingkat Kabupaten/Kota
(g) Badan Penasihat Pengurus PGRI Kabupaten/Kota
(h) Peninjau yang diundang oleh Pengurus PGRI Kabupaten/Kota

Pasal 73
Hak Bicara dan Hak Suara
(1) Ketentuan pasal 49 dan 61 Anggaran Rumah Tangga pada dasarnya berlaku juga bagi pasal ini yang disesuaikan dengan tingkatannya.
(2) Hak bicara ada pada semua peserta Konferensi Kabupaten/Kota.
(3) Hak suara hanya ada pada utusan ranting dan/atau utusan perwakilan anggota berdasar wilayah desa/kelurahan/satu unit kerja/gugus sekolah.
(4) Setiap Ranting paling sedikit memiliki 1 (satu) suara dan paling banyak 5 (lima) suara.
(5) Jumlah seluruh anggota di Kabupaten/Kota diwakili menjadi jumlah hak suara dengan pembagi 20 (dua puluh).
(6) Jumlah suara tersebut dibagi ke seluruh Ranting dan/atau desa/Kelurahan/satuan pendidikan, gugus sekolah secara proporsional dengan pertimbangan setiap 20 (dua puluh) anggota dari setiap Ranting dan/atau desa/kelurahan/satu unit kerja/gugus sekolah memiliki1 (satu) suara.

Pasal 74
Acara Konferensi PGRI Kabupaten/Kota
Pada dasarnya pasal 50 dan pasal 62 Anggaran Rumah Tangga secara mutatis dan mutandis berlaku pula bagi pasal ini yang disesuaikan dengan tingkatannya.

Pasal 75
Panitia Pemeriksa Keuangan
Pada dasarnya ketentuan pasal 51 dan 63 Anggaran Rumah Tangga secara mutatis dan mutandis berlaku juga bagi pasal ini dan disesuaikan dengan tingkatannya.

Pasal 76
Panitia Pemeriksa Mandat dan Hak Suara
(1) Pada dasarnya pasal 52 dan 64 Anggaran Rumah Tangga secara mutatis dan mutandis berlaku juga bagi pasal ini dan disesuaikan dengan tingkatannya.
(2) Jumlah anggota Panitia Pemeriksa Mandat dan Hak Suara dapat disesuaikan dengan jumlah Cabang.

Pasal 77
Panitia Pemilihan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota
(1) Pada dasarnya pasal 53 dan 65 Anggaran Rumah Tangga secara mutatis mutandis berlaku juga bagi pasal ini dan disesuaikan dengan tingkatannya.
(2) Panitia Pemilihan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota diambil dari utusan Cabang dengan jumlah sedikitnya 7 (tujuh) orang dan sebanyak-banyaknya 11 (sebelas) orang.
(3) Jika jumlah Cabang kurang dari 7 (tujuh), anggota Panitia Pemilihan dapat dilengkapi keanggotaannya dari peserta yang mewakili unsur nonCabang sehingga mencapai jumlah yang diperlukan akan tetapi anggota pelengkap tersebut tidak boleh menjadi pimpinan Panitia.






BAB XXII
KONFERENSI KERJA PGRI KABUPATEN/KOTA

Pasal 78
Status dan Tugas
(1) Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota adalah Rapat antar Pengurus PGRI Cabang yang diselenggarakan dan dipimpin oleh PGRI Kabupaten/Kota, dan merupakan instansi tertinggi di bawah Konferensi Kabupaten/Kota.
(2) Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota bertugas menetapkan program tahunan dan kebijakan organisasi sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota.
(3) Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota dapat menentukan pergantian anggota pengurus harian terpilih antar waktu apabila terjadi kekosongan

Pasal 79
W a k t u
(1) Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota diadakan 1 (satu) tahun sekali.
(2) Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota yang pertama pada masa bakti Pengurus PGRI Kabupaten/Kota yang baru diadakan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sesudah Konferensi PGRI Kabupaten/Kota, dan yang terakhir selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum Konferensi Kabupaten/Kota.
(3) Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota dapat juga diadakan :
a. Jika Pengurus PGRI Kabupaten/Kota menganggap perlu.
b. Atas permintaan ½ (seperdua) jumlah Cabang yang mewakili lebih ½ (seperdua) jumlah suara.
c. Atas permintaan Pengurus PGRI Provinsi.
d. Atas permintaan Pengurus Besar.
(4) Dalam waktu 2 (dua) bulan sesudah salah satu dan/atau semua permintaan tersebut diterima, Pengurus PGRI Kabupaten/Kota wajib menyelenggarakannya.

Pasal 80
P e s e r t a
Peserta Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota terdiri dari :
a. Utusan Pengurus Cabang
b. Pengurus PGRI Kabupaten/Kota
c. Utusan Pengurus Provinsi
d. Wakil Pimpinan Anak Lembaga dan Badan Khusus Kabupaten/Kota
e. Wakil Pimpinan Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis Kabupaten/Kota
f. Badan Penasihat Kabupaten/Kota
g. Peninjau yang diundang oleh Pengurus Kabupaten/Kota

Pasal 81
Hak Bicara dan Hak Suara
(1) Pada dasarnya ketentuan pasal 57 dan pasal 69 Anggaran Rumah Tangga berlaku bagi pasal ini yang disesuaikan dengan tingkatannya.
(2) Hak bicara ada pada semua peserta Konferensi Kerja Kabupaten/Kota.
(3) Hak suara hanya ada pada utusan Cabang dengan ketentuan setiap Cabang sedikitnya memiliki 1 (satu) suara dan sebanyak-bannyaknya 5 (lima) suara.


Pasal 82
Kewajiban Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota
(1) Membahas dan menilai pelaksanaan keputusan Konferensi PGRI Kabupaten/Kota.
(2) Menetapkan rencana kerja tahunan dan kebijakan yang belum ditetapkan sepanjang tidak bertentangan dengan keputusan Konferensi PGRI Kabupaten/Kota.
(3) Menentukan penggantian anggota Pengurus antar waktu apabila terjadi kekosongan.
(4) Membahas dan menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Organisasi (RAPBO) Pengurus PGRI Kabupaten/Kota untuk tahun mendatang.
(5) Konferensi Kerja PGRI Kabupaten/Kota menjelang Kongres sedikitnya menetapkan calon anggota Panitia Pemilihan Pengurus Provinsi.

BAB XXIII
KONFERENSI PGRI CABANG,
KONFERESI KERJA PGRI CABANG,
DAN RAPAT ANGGOTA PGRI RANTING
Pasal 83
Konferensi PGRI Cabang
(1) Konferensi PGRI Cabang diselenggarakan dan dipimpin oleh Pengurus PGRI Cabang tiap 5 (lima) tahun sekali pada akhir masa bakti Pengurus PGRI Cabang.
(2) Konferensi PGRI Cabang Luar Biasa dapat juga diadakan :
a. Kalau Pengurus Cabang menganggap perlu.
b. Atas permintaan sekuran-kurangnya ½ (seperdua) jumlah Ranting dan/atau jumlah anggota.
c. Atas Permintaan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.
d. Atas Permintaan Pengurus PGRI Provinsi.
(3) Peserta Konferensi PGRI Cabang
a. Utusan Ranting dan/atau seluruh anggota
b. Pengurus Cabang
c. Wakil Pengurus PGRI Kabupaten/Kota
d. Peninjau yang diundang oleh Pengurus Cabang
(4) Semua anggota/utusan Ranting berdasarkan undangannya
mempunyai hak bicara.
(5) Hak suara hanya ada pada Ranting dan/atau perwakilan
anggota berdasar wilayah desa/kelurahan/satu unit kerja/ gugus sekolah dimana setiap 20 anggota memiliki 1 (satu) suara dan/atau seluruh anggota cabang.
(6) Setiap Ranting dan/atau wilayah desa/kelurahan/satu unit kerja/gugud sekolah memiliki sedikitnya 1 (satu) suara dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) suara.
(7) Acara pokok Konferensi PGRI Cabang membahas dan
menetapkan antara lain :
a. Laporan pertanggungjawaban Pengurus Cabang
termasuk kebijakan keuangan dalam masa
baktinya.
b. Rencana kerja termasuk anggaran keuangan dalam masa bakti yang akan datang.
c. Pemilihan Pengurus Cabang
(8) Pada dasarnya segala ketentuan tentang penyelenggaraan Konferensi PGRI Kabupaten/Kota berlaku juga bagi penyelenggaraan Konferensi PGRI Cabang dengan disesuaikan berdasar ruang lingkup dan tingkatannya.


Pasal 84
Konferensi Kerja PGRI Cabang
(1) Jika Organisasi Cabang terdiri dari Ranting-Ranting maka diadakan Konferensi PGRI Cabang yang diselenggarakan setiap tahun dan dipimpin oleh Pengurus Cabang.
(2) Konferensi Kerja PGRI Cabang dapat juga diadakan :
a. Kalau Pengurus Cabang menganggap perlu.
b. Atas permintaan ½ (seperdua) jumlah Ranting yang mewakili lebih dari ½ (seperdua) jumlah anggota.
c. Atas permintaan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.
d. Atas permintaan Pengurus PGRI Provinsi.
(3) Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah salah satu dan/atau semua permintaan tersebut dalam ayat (2) pasal ini diterima. Pengurus PGRI Cabang wajib menyelenggarakannya
(4) Peserta Konferensi Kerja PGRI Cabang :
a. Utusan Ranting
b. Pengurus Cabang
c. Wakil Pengurus PGRI Kabupaten/Kota
d. Wakil Pengurus Anak Lembaga dan Badan Khusus tingkat Cabang
e. Wakil Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahilan Sejenis tingkat Cabang
f. Peninjau yang diundang oleh Pengurus Cabang.
(5) Utusan Ranting mempunyai hak bicara dan hak suara sedang peserta lainnya hanya mempunyai hak bicara.
(6) Jumlah suara yang ditetapkan sebagai berikut :
a. Setiap Ranting mempunyai hak suara sekurang-kurangnya 1 (satu) suara sebanyak-banyaknya 5 (lima) suara
b. Setiap 20 (duapuluh) anggota berhak 1 (satu) suara.
(7) Jika Cabang tersebut tidak mempunyai Ranting maka Konferensi Kerja PGRI Cabang diganti dengan rapat kerja anggota yang dihadiri oleh perutusan anggota berdasar permakilan wilayah desa/kelurahan/satu unit kerja/gugus sekolah.
(8) Segala ketentuan tentang Konferensi Kerja secara mutatis dan mutandis berlaku juga bagi rapat kerja anggota seperti tersebut dalam ayat (7) pasal ini dengan disesuaikan berdasar ruang lingkup dan tingkatannya.

Pasal 85
Rapat Anggota PGRI Ranting
(1) Rapat anggota PGRI Ranting diadakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali dipimpin oleh Pengurus Ranting.
(2) Rapat anggota PGRI Ranting dapat juga diadakan apabila :
a. Pengurus Ranting menganggap perlu.
b. Atas permintaan ½ (seperdua) anggota Ranting atau lebih.
c. Atas Permintaan Pengurus PGRI Cabang
d. Atas permintaan Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.
(3) Pada akhir masa bakti Pengurus PGRI Ranting, rapat anggota diupayakan agar dihadiri oleh seluruh anggota dan rapat anggota tersebut berfungsi sebagai forum tertinggi organisasi di tingkat Ranting.
(4) Hak bicara dan hak suara ada pada semua anggota yang hadir.
(5) Anggota yang tidak hadir dianggap tidak menggunakan hak bicara dan hak suaranya.
(6) Segala ketentuan tentang Konferensi Kabupaten/Kota secara mutatis dan mutandis berlaku juga bagi rapat anggota tersebut dalam ayat (3) pasal ini dengan disesuaikan berdasar ruang lingkup dan tingkatannya.

BAB XXIV
RAPAT PENGURUS DAN PERTEMUAN LAIN
Pasal 86
Rapat Pengurus
(1) Rapat Pengurus/Pengurus Harian disetiap tingkatan diadakan sesuai keperluan dan sekurang-kurangnya diselenggarakan 1 (satu) bulan sekali.
(2) Rapat Pengurus Lengkap Pimpinan Organisasi diselenggarakan sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan sekali.
(3) Rapat Pleno Lengkap Organisasi yang dihadiri oleh seluruh Pengurus Organisasi, Badan Penasihat, Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis, Pimpinan Anak Lembaga, dan Pimpinan Badan Khusus diadakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali.
(4) Rapat Pengurus dapat juga diadakan atas permintaan ½ (seperdua) jumlah anggota Pengurus Lengkap dan/atau ada hal-hal yang mendesak.
(5) Pertemuan khusus antara berbagai pihak secara terpisah dapat diadakan sesuai keperluan.
(6) Dalam rapat tersebut semua anggota yang hadir mempunyai hak bicara dan hak suara yang sama.

Pasal 87
Pertemuan Lain
(1) Pertemuan lain dapat diselenggarakan oleh Pengurus Organisasi di semua tingkatan apabila diperlukan dalam upaya kelancaran pelaksanaan misi organisasi.
(2) Rapat Koordinasi Pimpinan PGRI Kabupaten/Kota Tingkat Nasional dilaksanakan setiap 2 tahun sekali oleh Pengurus Besar (PB) PGRI
(3) Rapat Koordinasi Pimpinan PGRI Cabang/Cabang Khusus Tingkat Provinsi dilaksanakan setiap 2 (dua tahun sekali oleh Pengurus PGRI Provinsi
(4) Rapat Koordinasi Pimpinan PGRI Ranting Tingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan setiap 2 (dua) tahun oleh Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.

BAB XXV
BADAN PENASIHAT

Pasal 88
Badan Penasihat Pengurus Besar
(1) Atas usul Pengurus Besar Kongres menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Penasihat Pengurus Besar yang sedikitnya berjumlah 9 (sembilan) orang dan terdiri atas tokoh-tokoh di bidang pendidikan, kebudayaan, Kemasyarakatan dan para ahli yang berkaitan dengan pendidikan, keprofesian dan ketenagakerjaan.
(2) Badan Penasihat baik diminta atau tidak bertugas memberi nasihat dan saran-saran kepada Pengurus Besar.
(3) Masa bakti Badan Penasihat Pengurus Besar sama dengan masa bakti Pengurus Besar.

Pasal 89
Badan Penasihat Pengurus PGRI Provinsi
(1) Atas usul Pengurus PGRI Provinsi yang baru, Konferensi PGRI Provinsi menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Penasihat Pengurus PGRI Provinsi yang sedikitnya berjumlah 7 (tujuh) orang dan terdiri atas tokoh-tokoh di bidang pendidikan, kebudayaan, kemasyarakatan, dan para ahli yang berkaitan dengan pendidikan, keprofesian, dan ketenagakerjaan.
(2) Badan Penasihat baik diminta atau tidak bertugas memberi nasihat dan saran-saran kepada Pengurus PGRI Provinsi.
(3) Masa bakti Badan Penasihat Pengurus PGRI Provinsi sama dengan masa jabatan Pengrus PGRI Provinsi.

Pasal 90
Badan Penasihat Pengurus PGRI Kabupaten/Kota
(1) Atas usul Pengurus PGRI Kabupaten/Kota, Konferensi PGRI Kabupaten/Kota menetapkan Badan Penasihat Pengurus PGRI Kabupaten/Kota yang sedikitnya berjumlah 5 (lima) orang dan terdiri atas tokoh-tokoh pendidikan, kebudayaan, kemasyarakatan, dan para ahli.
(2) Badan Penasihat baik diminta atau tidak bertugas memberi nasihat dan saran-saran kepada Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.
(3) Masa bakti Badan Penasihat Pengurus PGRI Kabupaten/Kota sama dengan masa bakti Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.

Pasal 91
Badan Penasihat Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus
(1) Atas usul Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus, Konferensi PGRI Cabang menetapkan Badan Penasihat Pengurus PGRI Cabang/Cabang khusus yang sedikitnya berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiri dari tokoh-tokoh pendidikan, kebudayaan, dan kemasyarakatan.
(2) Badan Penasihat baik diminta atau tidak bertugas memberi nasihat dan saran-saran kepada Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus.
(3) Masa bakti Badan Penasihat Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus sama dengan masa bakti Pengurus PGRI Cabang/Cabang Khusus.

BAB XXVI
DEWAN KEHORMATAN ORGANISASI DAN KODE ETIK GURU INDONESIA
Pasal 92
Status, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang

(1) Jika dianggap perlu, Badan Pimpinan Organisasi PGRI Kabupaten/Kota dapat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi sesuai dengan tingkatannya.
(2) Fungsi dan tugas Dewan Kehormatan Organisasi di tingkat Cabang/Cabang Khusus dan Ranting menjadi tanggungjawab pengurus PGRI Kabupaten/Kota.
(3) Dewan Kehormatan Organisasi bertugas memberikan saran, pendapat, dan pertimbangan kepada Badan Pimpinan Organisasi yang membentuknya tentang :
a. Pelaksanaan, penegakkan, dan pelanggaran disiplin organisasi yang terjadi diwilayah kewenangannya.
b. Pelanggaran kode etik guru yang dilakukan baik oleh pengurus maupun oleh anggota serta saran dan pendapat tentang tindakan yang selayaknya dijatuhkan terhadap pelanggaran kode etik tersebut.
c. Pelaksanaan dan cara menegakkan disiplin organisasi dan Kode Etik Guru, dan
d. Pembinaan hubungan dengan mitra organisasi dibidang penegakkan serta pelanggaran disiplin organisasi serta kode etik guru.
(4) Susunan keanggotaan Dewan Kehormatan Organisasi dan Kode Etik Profesi Guru Indonesia terdiri dari unsur Badan Penasihat, unsur Badan Pimpinan Organisasi, unsur Himpunan/Ikatan/Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis, dan unsur-unsur keahlian lainnya sesuai dengan keperluan.
(5) Tata cara, tugas, wewenang, dan mekanisme kerja Dewan Kehormatan Organisasi dan Kode Etik Profesi Guru Indonesia diatur lebih lanjut dalam ketentuan tersendiri.

BAB XXVII
PERBENDAHARAAN
Pasal 93
Keuangan Organisasi
(1) Setiap anggota wajib membayar uang pangkal dan uang iuran sebagai berikut :
a. Uang Pangkal sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) bagi anggota baru dan diserahkan ke Pengurus PGRI Kabupaten /Kota.
b. Uang iuran anggota ditetapkan oleh Konferensi PGRI Provinsi, minimal Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah) setiap bulan, dengan rincian pendistribusian untuk :
1. Pengurus Besar PGRI sebesar Rp. 200,00
2. Pengurus PGRI Provinsi sebesar Rp. 400,00
3. Pengurus Kabupaten/Kota sebesar Rp. 600,00
4. Cabang dan Ranting sebesar Rp. 800,00
(2) Ketentuan pembayaran iuran anggota sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf b mulai dilaksanakan 6 (enam) bulan setelah kongres.
(3) Pelaksanaan pengumpulan uang iuran untuk Pengurus Besar dan Pengurus Provinsi diberikan tugas dan tanggung jawab kepada Pengurus PGRI Kabupaten/Kota.
(4) Pengurus PGRI Kabupaten/Kota menyetorkan iuran untuk Pengurus Besar bersama dengan
iuran untuk Pengurus PGRI Propivinsi kepada Pengurus PGRI Provinsi.
(5) Setiap 3 (tiga) bulan, semua pengurus di semua tingkatan wajib menyampaikan catatan penerimaan iuran anggota dan disampaikan kepada Badan Pimpinan Organisasi yang lebih tinggi kecuali Pengurus Besar yang akan menyampaikannya kepada seluruh Pengurus PGRI Provinsi.
(6) Setiap tahun kondisi keuangan diverifikasi :
a. Pengurus Besar (PB) PGRI diperiksa oleh Badan Verifikasi Keuangan yang dibentuk oleh KONKERNAS oleh sebanyak-banyaknya 5 orang yang mewakili PGRI Provinsi.
b. Pengurus PGRI Provinsi oleh Pengurus Besar (PB) PGRI
c. Pengurus PGRI Kabupaten/Kota oleh Pengurus PGRI Provinsi
d. Pengurus Cabang PGRI oleh Pengurus Kabupaten/Kota
e. Pengurus PGRI Ranting oleh Pengurus PGRI Cabang
(7) Biaya pemeriksaan keuangan organisasi ditanggung oleh oleh masing-masing Badan Pimpinan Organisasi yang diperiksa sesuai tingkatannya.


Pasal 94
Kekayaan Organisasi
(1) Pengurus di semua tingkatan wajib mencatat dan menginventarisasikan kekayaan organisasi.
(2) Semua pemindahan hak, pelepasan dan pemutasian kekayaan organisasi baik berupa barang tidak bergerak, barang bergerak, surat-surat berharga yang bernilai diatas Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk tingkat Besar serta Provinsi dan di atas Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Kabupaten/Kota ke bawah, wajib mendapat persetujuan Rapat Pengurus dan wajib dipertanggungjawabkan pada forum organisasi di wilayahnya.
(3) Ketentuan yang tertuang dalam ayat (2) pasal ini tidak menghapus kewajiban pengurus untuk mempertanggung-jawabkan semua keuangan dan kekayaan organisasi.
(4) Inventarisasi kekayaan organisasi menjadi bagian pertanggungjawaban Pengurus.


BAB XXVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 95
(1) Paling lambat satu tahun setelah berlakunya AD-ART ini, semua badan kelengkapan organisasi dari pusat sampai daerah wajib melakukan penyesuaian dengan isi dan materi AD-ART ini yang dilaksanakan melalui forum organisasi sesuai tingkatannya.
(2) Dengan dikoordinasikan oleh Badan Pimpinan Organisasi sesuai tingkatannya, semua Anak Lembaga dan Badan Khusus wajib melakukan penyesuaian organisasi dan peraturan intern anak Lembaga dan Badan Khusus sesuai dengan AD-ART ini yang hasilnya dilaporkan kepada Pimpinan Anak Lembaga dan Badan Khusus yang lebih tinggi.


BAB XXIX
P E N U T U P
Pasal 96

(1) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ini diatur dan ditetapkan dalam peraturan organisasi oleh Pengurus Besar dan dipertanggungjawabkan kepada Kongres.
(2) Apabila terjadi perbedaan penafsiran atas materi Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, maka penafsiran yang berlaku dan sah adalah penafsiran yang dilakukan oleh Pengurus Besar sampai ada penafsiran lain dalam Kongres berikutnya.
(3) Anggaran Rumah Tangga ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di : Palembang
Pada tanggal : 3 Juli 2008


PENGURUS BESAR
SELAKU PIMPINAN KONGRES XX PGRI

Ketua, Sekretaris,




Prof. Dr. H. Muhamad Surya Drs. H. Soemardhi Thaher