Minggu, 06 Desember 2009

Harapan si Lemah pada PGRI

Harapan si Lemah pada PGRI

Banyak orang yang kagum sekaligus iri terhadap PGRI dalam memperjuangkan kesejahteraan guru. Terutama setelah munculnya kebijakan kenaikkan pangkat melalui angka kredit dan sertifikasi guru. Kedua kebijakan itu dianggap oleh guru sangat monumental. Apakah setelah munculnya kedua kebijakan itu semua anggota PGRI sejahtera, kinerja dan profesionalisme guru meningkat?
Kinerja guru yang sudah lolos sertifikasi masih belum memuaskan. Motivasi kerja yang tinggi justru ditunjukkan oleh guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum lolos sertifikasi, dengan harapan segera mendapat sertifikasi berikut uang tunjangan profesi. Hal tersebut berdasarkan temuan sementara dari hasil survei yang dilakukan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengenai dampak sertifikasi profesi guru terhadap kinerja guru.
”Kami baru mengolah data 16 dari 28 provinsi yang diteliti. Hasilnya ternyata kurang memuaskan. Padahal, kami berharap, sertifikasi bisa meningkatkan kinerja dan profesionalisme guru,” kata DR. Unifah Rosyidi, Wakil Ketua Pengurus Besar PGRI. Pernyataan tersebut salah satu bukti permulaan yang harus kita sikapi dengan bijaksana dan merupakan motivasi untuk meningkatkan kinerja guru.
Ada yang lebih ironis lagi, guru banyak yang meninggalkan tugas dikarenakan mengikuti seminar atau workshop dengan harapan mendapat sertifikat. Dengan demikian lebih mengutamakan sunah daripada kewajiban. Oleh karena itu, para penyelenggara seminar dalam melaksanakan kegiatan tersebut jangan sampai pada waktu jam kerja.
Kita ketahui bahwa anggota PGRI tidak hanya berasal dari guru. Ada yang berasal dari pegawai UPT atau Dinas Pendidikan, pengawas sekolah, dan penilik. Guru pun ada yang sudah PNS dan ada yang masih wiyata bakti. Kalau kita lihat ternyata yang benar-benar diperjuangkan adalah anggota guru dan pengawas PNS saja, yang lainnya belum.
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) Depdiknas akan menyusun kriteria kinerja guru. Dirjen PMPTK Baedowi mengatakan, kriteria kinerja ini akan dijadikan indikator untuk melakukan pembayaran tunjangan profesi guru. Selain itu, dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan profesional guru bagi yang telah mendapatkan sertifikat profesi. Berdasarkan pernyataan di atas bahwa pemerintah benar-benar akan mengawasi kinerja guru bahkan kriteria kinerja itu merupakan prasyarat apakah guru tersebut layak tidaknya tunjangannnya dibayarkan.
Baedhowi mengatakan, penerbitan sertifikat profesi bagi guru adalah untuk keprofesiannya, tetapi pembayaran tunjangan profesi adalah berdasarkan atas kinerjanya. Salah satu syaratnya, kata dia, sesuai Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2008 tentang Guru, yakni memenuhi beban kerja guru paling sedikit 24 jam tatap muka dalam satu minggu. "Jadi kinerjanya itu walaupun memenuhi 24 jam tatap muka, tetapi harus dilihat indikator kinerja yang sekarang sedang dikerjakan."
Jelaslah bahwa pemerintah selain pengawasan kinerja juga beban kerja guru harus 24 jam tatap muka dalam satu minggu. Bagi guru PNS mungkin bukan merupakan persoalan. Tapi bagi guru wiyata bakti dan swasta untuk memenuhi 24 jam merupakan salah satu kesulitan besar sebab kelas di sekolah swasta sangat terbatas jumlahnya.
Misalkan di SMP PGRI Karangkosong jumlah rombongan belajarnya 8 dan jumlah gurunya ditambah kepala sekolah 26 orang dan beban belajarnya 36 jam.
Jika dihitung jumlah jam mengajar di sekolah tersebut 8 x 36 = 288 jam. Sementara jumlah guru 26 orang, berarti 288 : 26 = 11 jam. Jadi rata-rata beban kerja guru-guru di sekolah tersebut 11 jam sedangkan beban kerja berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru 24 jam, berarti rata-rata kurang 13 jam. Untuk memenuhi kekurangannya berarti harus mengajar di sekolah lain. Sementara di sekolah lain pun kondisinya tidak jauh berbeda dengan SMP PGRI Karangkosong kecuali SMP unit baru.
Menurut UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa beban kerja guru paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Selain itu, Menteri dapat menetapkan ekuivalensi beban kerja untuk memenuhi ketentuan beban kerja sebagaimana dimaksud dalam PP 74 tahun 2008.
Berdasarkan PP 74 tahun 2008 pasal 54 bahwa ekuivalensi beban kerja guru sebagai berikut:
1. Beban kerja kepala satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah paling sedikit 6 (enam) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu atau membimbing 40 (empat puluh) peserta didik bagi kepala satuan pendidikan yang berasal dari guru bimbingan dan konseling atau konselor.
2. Beban kerja wakil kepala satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu atau membimbing 80 (delapan puluh) peserta didik bagi wakil kepala satuan pendidikan yang berasal dari guru bimbingan dan konseling atau konselor.
3. Beban kerja ketua program keahlian satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
4. Beban kerja kepala perpustakaan satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
5. Beban kerja kepala laboratorium, bengkel, atau unit produksi satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
6. Beban kerja guru bimbingan dan konseling atau konselor yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah mengampu bimbingan dan konseling paling sedikit 150 (seratus lima puluh) peserta didik per tahun pada satu atau lebih satuan pendidikan.
Jadi berdasarkan PP tersebut bahwa guru yang beban kerjanya kurang dapat dipenuhi dengan tugas tambahan sebagai kepala sekolah, wakil kepala sekolah, kepala perpustakaan, kepala laboratorium, bengkel, atau unit produksi satuan pendidikan.
Kalau di SMP PGRI Karangkosong yang mungkin dapat menambah ekuivalensi beban kerja guru adalah tugas tambahan seorang kepala sekolah 6 jam, 4 orang wakil kepala sekolah ( wakasek kurikulum, humas, kesiswaan, dan sarana prasarana) 12 jam, dan seorang kepala perpustakaan 12 jam. Artinya kepala sekolah yang mengajar 6 jam beban kerjanya tidak 24 jam melainkan hanya 6 jam. Begitu pula wakil kepala sekolah dan kepala perpustakaan, beban kerjanya tidak 24 jam melainkan hanya 12 jam.
Jadi, jumlah jam yang dapat diberikan pada guru lain 78 jam dengan rincian: kepala sekolah 18 jam, wakil kepala sekolah 4 x 12 = 48 jam, dan kepala perpustakaan 12 jam. Selanjutnya 288 + 78 = 366 jam dan 366 : 26 guru = 14,07 jam dibulatkan rata-rata per guru 14 jam/minggu. Kalau dihitung rata-rata kekurangannya 24 – 14 = 10 jam. Tapi, untuk memenuhi 24 jam guru swasta tentulah sangat kesulitan karena sekolah lain pun kondisinya sama. Mungkin bisa ke sekolah dasar, tapi prosedur birokrasi harus ditempuh. Oleh karena itu, PGRI harus lebih memperhatikan guru swasta karena kondisinya lebih memprihatinkan dibandingkan guru PNS.
Berdasarkan PP 74 tahun 2008 pasal 17 ayat 1 bahwa guru tetap pemegang Sertifikat Pendidik berhak mendapatkan tunjangan profesi apabila mengajar di satuan pendidikan yang rasio minimal jumlah peserta didik terhadap gurunya sebagai berikut:
a. untuk TK, RA, atau yang sederajat 15:1;
b. untuk SD atau yang sederajat 20:1;
c. untuk MI atau yang sederajat 15:1;
d. untuk SMP atau yang sederajat 20:1;
e. untuk MTs atau yang sederajat 15:1;
f. untuk SMA atau yang sederajat 20:1;
g. untuk MA atau yang sederajat 15:1;
h. untuk SMK atau yang sederajat 15:1; dan
i. untuk MAK atau yang sederajat 12:1.
Kalau kita cermati berarti guru yang mengajar di sekolah yang rasio kecukupan kurang dari ketentuan, maka tidak akan mendapatkan tunjangan profesi. Sementara di SMP PGRI Karangkosong jumlah rombongan belajarnya 8 x 40 = 320 siswa, jika 320 : 26 = 12,30. Jadi di sekolah tersebut semua gurunya tidak berhak mendapat tunjangan profesi karena rasionya hanya 12 : 1, padahal seharusnya 20 : 1. Oleh karena itu, agar di sekolah tersebut memenuhi rasio 20 : 1 maka maksimal jumlah gurunya 16 orang. Kalau gurunya berlebih, apakah manusiawi jika guru honor tersebut dirumahkan dengan alasan rasio minimal jumlah peserta didik terhadap guru kurang. Dengan demikian, sebaiknya PP 74 tahun 2008 pasal 17 ayat 1 pada bagian penjelasan direvisi.
Bagaimana dengan anggota yang bukan guru dan pengawas? Apakah PGRI hanya lebih memperhatikan yang mayoritas saja. Sementara penilik dan tenaga kependidikan belum diperhatikan. Padahal penilik pun kebanyakan berasal dari guru. Semestinya PGRI mengusulkan adanya tunjangan tenaga kependidikan. Jangan sampai dilihat sebelah mata, mereka pun sama-sama memajukan pendidikan di Indonesia.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa jadi bahan renungan para pengurus PGRI. Selamat berjuang PGRI! Kami kaum lemah masih berharap banyak dari pengurus PGRI.

Penulis: Yamin, S.Pd. M.M.

Kronik PGRI

Kronik PGRI

PGRI adalah organisasi besar yang mempunyai kekuatan besar dalam memajukan bangsa ini. Siapapun tahu, modal dan kekuatan sebuah organisasi adalah jumlah anggota. Atas dasar inilah, penulis berkeyakinan bahwa PGRI mampu membuat para anggotanya yaitu para guru menjadi orang-orang yang profesional sebagai pendidik baik di tingkat pusat maupun daerah.
Namun sayang, masih ada anggota yang belum mengenal siapa PGRI? Apa program-program kegiatannya? Apa saja hasil perjuangannya? Bagaimana landasan hukumnya? Bagaimana cara menyampaikan aspirasi?
Mengapa hal itu bisa terjadi? Penyebabnya adalah sebagai berikut:
1. Anggota tidak mau mencari tahu persoalan di atas. Padahal untuk mencari tahu, bisa bertanya pada pengurus di tingkat ranting atau cabang. Selain itu bisa membaca majalah khusus PGRI karena salah satunya berisi tentang dinamika PGRI.
2. Pengurus PGRI di tingkat ranting dan cabang kurang mensosialisasikan persoalan di atas. Program-program yang ada tidak diketahui oleh seluruh anggota karena informasi hanya sampai pada kepala sekolah. Hasil-hasil pleno baik tingkat kabupaten maupun cabang kurang tersosialisasikan kepada anggota padahal hasil pleno adalah salah satu dari ketentuan organisasi. Oleh karena itu, semestinya setiap cabang memiliki bulletin atau majalah khusus untuk mensosialisasikan hasil-hasil pleno.
Keberadaan PGRI sampai sekarang masih ada yang melihat sebelah mata, hal itu terlihat dengan masih adanya pernyataan:
1. PGRI hanyalah organisasi yang memungut iuran dari guru-guru.
2. PGRI banyak dikuasai / didominasi oleh guru-guru SD.
3. PGRI besar tapi kalah besar pengaruhnya oleh K3S, MKKS, apalagi oleh Forum Rektor.
Pernyataan bahwa PGRI hanyalah organisasi yang memungut iuran dari guru-guru hanyalah ketidaktahuan anggota saja. Dana atau iuran merupakan rohnya suatu organisasi. Tanpa dana yang cukup maka jalannya roda organisasi mengalami kesulitan. Kita lihat berapa sebenarnya uang yang dikelola. Berdasarkan AD/ART pasal 93 bahwa uang iuran anggota ditetapkan oleh Konferensi PGRI Provinsi, minimal Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah) setiap bulan, dengan rincian pendistribusian untuk :
1. Pengurus Besar PGRI sebesar Rp 200,00
2. Pengurus PGRI Provinsi sebesar Rp 400,00
3. Pengurus Kabupaten/ Kota sebesar Rp 600,00
4. Pengurus Cabang dan Ranting sebesar Rp 800,00
Apakah dengan uang sebesar itu cukup untuk menggerakkan organisasi sebesar PGRI? Tentu saja tidak. Oleh karena itu, PGRI diperkenankan untuk menambahkan iuran tersebut atau mencari sumbangan dari pihak lain yang tidak mengikat.
Pernyataan bahwa PGRI banyak dikuasai / didominasi oleh guru-guru SD hal itu tidak benar karena sebenarnya teman-teman di SD-lah yang paling banyak menyukseskan program atau kegiatan di PGRI. Hal itu karena mayoritas sehingga pantaslah dari mereka paling banyak dana itu terkumpul untuk menyukseskan suatu program.
Keterwakilan pengurus cabang dan kabupaten yang berasal dari SD memang banyak. Namun, ketika melihat jumlah kepengurusan PGRI di tingkat provinsi apalagi pusat teman-teman dari SD prosentasenya sangat kecil. Di pusat atau pengurus besar kebanyakan yang menjadi ketua, justru dari kalangan perguruan tinggi. Karena yang dipersoalkan bukan keterwakilannya, tapi yang penting bagaimana kiprahnya dalam memperjuangkan kepentingan guru. Selain itu yang diperjuangkan tidak hanya guru SD. Tapi semuanya, baik guru SD, SMP/MTs, SMA/MA/SMK termasuk dosen yang jumlahnya sangat sedikit. Baik pegawai negeri sipil maupun honorer. Salah satu bukti perjuangan yang sudah kita rasakan adalah sertifikasi.
Kalau kita perhatikan perjuangan Pengurus Besar PGRI dalam memperjuangkan kesejahteraan dan profesinalisme guru sudah sangat optimal. Salah satu hasil perjuangan yang monumental adalah sertifikasi guru.
Bukti konkret perjuangan dan kerja keras PGRI yang lainnya, yaitu:
1. Tunjangan fungsional yang selalu mengalami peningkatan termasuk juga guru non-PNS.
2. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
5. Anggaran pendidikan 20 persen dari APBN atau APBD. Perjuangan tersebut hingga ke Mahkamah Konstitusi dan PGRI menang walaupun yang dihadapinya pemerintah.
6. Permen Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan dan Permen Nomor 11 tahun 2008 tentang perubahan Sertifikasi Guru.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.
8. Selain itu PGRI berhasil memperjuangkan keluarnya PP No. 41 tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru, Dosen, dan Guru Besar.
9. Kini, yang masih diperjuangkan PGRI adalah usulan kenaikan pangkat secara otomatis setiap empat tahun sekali, serta kenaikan pangkat dalam waktu dua tahun dengan sistem kredit poin terhadap tenaga pendidik.
Sekarang kita tengok ke belakang, berapa orang pengurus PGRI di tingkat pusat ataupun daerah yang menjadi menteri atau kepala dinas pendidikan berasal dari Pengurus PGRI? Bisa kita hitung dengan jari. Berdasarkan sejarah organisasi PGRI, Menteri yang berasal dari PGRI hanyalah R.H. Koesnan pengurus PGRI Pusat periode 1945-1962 yang diangkat menjadi Menteri Perburuhan dan Sosial RI dalam kabinet Hatta.
Hal itu menjadi keprihatinan Pengurus Besar PGRI. Oleh karena itu DR. Sulistiyo berjanji bahwa PGRI ke depan akan merekomendasikan kepada para kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadia agar mengangkat salah satu Pengurus PGRI menjadi Kepala Dinas Pendidikan. Dengan pengangkatan itu diharapkan kiprah PGRI lebih dirasakan oleh anggota. Jangan sampai PGRI dibutuhkan hanya pada saat pilkada saja.
Hal terpenting yang harus diketahui oleh seluruh anggota PGRI adalah upaya dan perjuangan PGRI selama ini hanyalah bagi kepentingan guru dan masa depan pendidikan. Hal itu tak henti-hentinya dilakukan oleh Pengurus PGRI. Dengan kata lain, PGRI sebagai organisasi profesi dan perjuangan, terutama pada era reformasi ini telah banyak menunaikan tugas pokok dan fungsinya melalui perjuangan yang tiada henti dalam rangka merespon aspirasi dan kepentingan guru, melindungi dan memperjuangkan kepentingan guru serta pendidikan.
Sebagai organisasi Serikat Pekerja, PGRI telah berkiprah memajukan pendidikan seluruh rakyat berdasarkan kerakyatan bekerja sama dengan Education International (EI) serta secara terus menerus melakukan upaya membela dan memperjuangkan nasib guru khususnya dan nasib buruh pada umumnya (organisasi ketenagakerjaan).
Kiprah dan peran PGRI bagi kepentingan guru dan pembangunan pendidikan, tidak hanya mencuat ke permukaan pada era reformasi saat ini tapi sejak kelahirannya 64 tahun lebih lamanya, PGRI secara konsisten mengemban amanah anggotanya baik melalui dialog, dan silaturahim dengan pengambil kebijakan mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri hingga ke tingkat bawah Gubernur, Bupati/Walikota dan pengambil kebijakan lainnya. Tidak hanya itu saja, PGRI bahkan tidak segan-segan melakukan pengerahan massa untuk meloloskan ataupun membela kepentingan guru dan pendidikan. Menurut catatan, bagaimana peran dan kiprah PGRI sejak era orde lama, orde baru dan era reformasi dalam peran sertanya melahirkan berbagai karya penting dan bersejarah tidak hanya untuk kepentingan guru tapi juga untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas.
Meski telah melalui rentang perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, untuk mewujudkan tatanan guru Indonesia yang berkualitas, sejahtera, dan terlindungi belum berakhir. Tantangan ke depan masih terbentang luas dan semua tantangan itu hanya bisa diselesaikan jika seluruh elemen guru bersatu dan solid dalam wadah PGRI. Menurutnya, selama ini satu-satunya organisasi guru yang bisa menembus ke elite-elite pengambil kebijakan mulai dari Presiden, Wakil Presiden sampai Menteri hanya PGRI. Itu artinya, PGRI merupakan organisasi guru , Dosen dan pendidik yang diakui eksistensinya oleh lembaga-lembaga negara dan lembaga lainnya di tingkat nasional dan internasional.
Menurut Ketua Umum Pusat PGRI, DR. Sulistiyo untuk mewujudkan keinginan agar PGRI mampu melaksanakan tugas dan kewenangan sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi seperti yang tertuang dalam Pasal 42 UU Guru dan Dosen, dan organisasi ketenagakerjaan, perlunya melaksanakan konsolidasi organisasi secara sistematis dan organisatoris. Konsolidasi yang mendesak dilaksanakan terutama dalam penataan keanggotaan dan kepengurusan:
a. Keanggotaan.
Pengurus PGRI di ranting, Cabang, dan Kabupaten/Kota harus mempunyai data keanggotaan yang jelas. Kejelasan data itu juga akan menjadi dasar pendataan keanggotaan organisasi secara nasional. PB PGRI pada tahun 2008 memprogramkan gerakan penerimaan anggota baru, untuk guru dan tenaga kependidikan baik negeri maupun swasta.
b. Kepengurusan
Kepengurusan dalam PGRI di semua tingkatan perlu dilakukan penertiban. Pengurus PGRI Provinsi yang belum melaksanakan konsolidasi dengan baik, kami berharap untuk segera melakukan penertiban dan penataan. Penataan itu antara lain, pembentukan kepengurusannya, surat keputusan pengesahannya, kepatuhan dalam menyelenggarakan forum organisasi (konferensi, rapat-rapat, dan pertemuan-pertemuan organisasi).
Pernyataan bahwa PGRI besar tapi kalah besar pengaruhnya oleh K3S, MKKS, apalagi oleh Forum Rektor. Pernyataan itu sangat sulit untuk kita bantah karena teman-teman kita yang duduk dalam organisasi di atas mereka semuanya adalah top manajer di lembaganya masing-masing. Mereka pemegang otoritas, pemegang kebijakan, pemegang keputusan. Namun, batasnya jelas yaitu yang penting mereka tidak mengambil hak kita. Selain itu diakui atau tidak, sedikit atau banyak, mereka sudah ikut lebih mensejahterakan kita.
Lalu bagaimana perjuangan PGRI di provinsi, kabupaten, dan cabang, apalagi di ranting? Anggota masih ada yang belum merasakan hasil perjuangannya. Kita harus jeli bahwa organisasi PGRI adalah sebuah sistem yang saling terkait. Jadi, kurang tepat apabila kita melihatnya secara parsial.
Perjuangan mensejahterakan anggota adalah salah satu kegiatan yang tertuang dalam program kerja. Kegiatan PGRI itu dari tingkat ranting sampai dengan pusat. Anggota harus memahami bahwa kegiatan PGRI itu ada yang operasional dan insidental. Oleh karena itu, setiap hasil konferensi kerja baik di tingkat provinsi, kabupaten, dan cabang harus sampai pada anggota sehingga anggota lebih memahami kegiatan PGRI dan terasa kiprahnya bagi anggota.
Akhirnya sadar atau tidak, bahwa PGRI sudah lebih mensejahterakan guru. Hanya saja ukuran sejahtera dan hasil perjuangan itu bergantung dari cara pandang seseorang. Apakah melihatnya dari kaca mata pribadi atau secara umum.


Biodata Penulis:
Nama : Yamin, S.Pd. M.M.