Harapan si Lemah pada PGRI
Banyak orang yang kagum sekaligus iri terhadap PGRI dalam memperjuangkan kesejahteraan guru. Terutama setelah munculnya kebijakan kenaikkan pangkat melalui angka kredit dan sertifikasi guru. Kedua kebijakan itu dianggap oleh guru sangat monumental. Apakah setelah munculnya kedua kebijakan itu semua anggota PGRI sejahtera, kinerja dan profesionalisme guru meningkat?
Kinerja guru yang sudah lolos sertifikasi masih belum memuaskan. Motivasi kerja yang tinggi justru ditunjukkan oleh guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum lolos sertifikasi, dengan harapan segera mendapat sertifikasi berikut uang tunjangan profesi. Hal tersebut berdasarkan temuan sementara dari hasil survei yang dilakukan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengenai dampak sertifikasi profesi guru terhadap kinerja guru.
”Kami baru mengolah data 16 dari 28 provinsi yang diteliti. Hasilnya ternyata kurang memuaskan. Padahal, kami berharap, sertifikasi bisa meningkatkan kinerja dan profesionalisme guru,” kata DR. Unifah Rosyidi, Wakil Ketua Pengurus Besar PGRI. Pernyataan tersebut salah satu bukti permulaan yang harus kita sikapi dengan bijaksana dan merupakan motivasi untuk meningkatkan kinerja guru.
Ada yang lebih ironis lagi, guru banyak yang meninggalkan tugas dikarenakan mengikuti seminar atau workshop dengan harapan mendapat sertifikat. Dengan demikian lebih mengutamakan sunah daripada kewajiban. Oleh karena itu, para penyelenggara seminar dalam melaksanakan kegiatan tersebut jangan sampai pada waktu jam kerja.
Kita ketahui bahwa anggota PGRI tidak hanya berasal dari guru. Ada yang berasal dari pegawai UPT atau Dinas Pendidikan, pengawas sekolah, dan penilik. Guru pun ada yang sudah PNS dan ada yang masih wiyata bakti. Kalau kita lihat ternyata yang benar-benar diperjuangkan adalah anggota guru dan pengawas PNS saja, yang lainnya belum.
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) Depdiknas akan menyusun kriteria kinerja guru. Dirjen PMPTK Baedowi mengatakan, kriteria kinerja ini akan dijadikan indikator untuk melakukan pembayaran tunjangan profesi guru. Selain itu, dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan profesional guru bagi yang telah mendapatkan sertifikat profesi. Berdasarkan pernyataan di atas bahwa pemerintah benar-benar akan mengawasi kinerja guru bahkan kriteria kinerja itu merupakan prasyarat apakah guru tersebut layak tidaknya tunjangannnya dibayarkan.
Baedhowi mengatakan, penerbitan sertifikat profesi bagi guru adalah untuk keprofesiannya, tetapi pembayaran tunjangan profesi adalah berdasarkan atas kinerjanya. Salah satu syaratnya, kata dia, sesuai Peraturan Pemerintah No.74 Tahun 2008 tentang Guru, yakni memenuhi beban kerja guru paling sedikit 24 jam tatap muka dalam satu minggu. "Jadi kinerjanya itu walaupun memenuhi 24 jam tatap muka, tetapi harus dilihat indikator kinerja yang sekarang sedang dikerjakan."
Jelaslah bahwa pemerintah selain pengawasan kinerja juga beban kerja guru harus 24 jam tatap muka dalam satu minggu. Bagi guru PNS mungkin bukan merupakan persoalan. Tapi bagi guru wiyata bakti dan swasta untuk memenuhi 24 jam merupakan salah satu kesulitan besar sebab kelas di sekolah swasta sangat terbatas jumlahnya.
Misalkan di SMP PGRI Karangkosong jumlah rombongan belajarnya 8 dan jumlah gurunya ditambah kepala sekolah 26 orang dan beban belajarnya 36 jam.
Jika dihitung jumlah jam mengajar di sekolah tersebut 8 x 36 = 288 jam. Sementara jumlah guru 26 orang, berarti 288 : 26 = 11 jam. Jadi rata-rata beban kerja guru-guru di sekolah tersebut 11 jam sedangkan beban kerja berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru 24 jam, berarti rata-rata kurang 13 jam. Untuk memenuhi kekurangannya berarti harus mengajar di sekolah lain. Sementara di sekolah lain pun kondisinya tidak jauh berbeda dengan SMP PGRI Karangkosong kecuali SMP unit baru.
Menurut UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa beban kerja guru paling sedikit memenuhi 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan paling banyak 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu pada satu atau lebih satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Selain itu, Menteri dapat menetapkan ekuivalensi beban kerja untuk memenuhi ketentuan beban kerja sebagaimana dimaksud dalam PP 74 tahun 2008.
Berdasarkan PP 74 tahun 2008 pasal 54 bahwa ekuivalensi beban kerja guru sebagai berikut:
1. Beban kerja kepala satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah paling sedikit 6 (enam) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu atau membimbing 40 (empat puluh) peserta didik bagi kepala satuan pendidikan yang berasal dari guru bimbingan dan konseling atau konselor.
2. Beban kerja wakil kepala satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu atau membimbing 80 (delapan puluh) peserta didik bagi wakil kepala satuan pendidikan yang berasal dari guru bimbingan dan konseling atau konselor.
3. Beban kerja ketua program keahlian satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
4. Beban kerja kepala perpustakaan satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
5. Beban kerja kepala laboratorium, bengkel, atau unit produksi satuan pendidikan yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah paling sedikit 12 (dua belas) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
6. Beban kerja guru bimbingan dan konseling atau konselor yang memperoleh tunjangan profesi dan maslahat tambahan adalah mengampu bimbingan dan konseling paling sedikit 150 (seratus lima puluh) peserta didik per tahun pada satu atau lebih satuan pendidikan.
Jadi berdasarkan PP tersebut bahwa guru yang beban kerjanya kurang dapat dipenuhi dengan tugas tambahan sebagai kepala sekolah, wakil kepala sekolah, kepala perpustakaan, kepala laboratorium, bengkel, atau unit produksi satuan pendidikan.
Kalau di SMP PGRI Karangkosong yang mungkin dapat menambah ekuivalensi beban kerja guru adalah tugas tambahan seorang kepala sekolah 6 jam, 4 orang wakil kepala sekolah ( wakasek kurikulum, humas, kesiswaan, dan sarana prasarana) 12 jam, dan seorang kepala perpustakaan 12 jam. Artinya kepala sekolah yang mengajar 6 jam beban kerjanya tidak 24 jam melainkan hanya 6 jam. Begitu pula wakil kepala sekolah dan kepala perpustakaan, beban kerjanya tidak 24 jam melainkan hanya 12 jam.
Jadi, jumlah jam yang dapat diberikan pada guru lain 78 jam dengan rincian: kepala sekolah 18 jam, wakil kepala sekolah 4 x 12 = 48 jam, dan kepala perpustakaan 12 jam. Selanjutnya 288 + 78 = 366 jam dan 366 : 26 guru = 14,07 jam dibulatkan rata-rata per guru 14 jam/minggu. Kalau dihitung rata-rata kekurangannya 24 – 14 = 10 jam. Tapi, untuk memenuhi 24 jam guru swasta tentulah sangat kesulitan karena sekolah lain pun kondisinya sama. Mungkin bisa ke sekolah dasar, tapi prosedur birokrasi harus ditempuh. Oleh karena itu, PGRI harus lebih memperhatikan guru swasta karena kondisinya lebih memprihatinkan dibandingkan guru PNS.
Berdasarkan PP 74 tahun 2008 pasal 17 ayat 1 bahwa guru tetap pemegang Sertifikat Pendidik berhak mendapatkan tunjangan profesi apabila mengajar di satuan pendidikan yang rasio minimal jumlah peserta didik terhadap gurunya sebagai berikut:
a. untuk TK, RA, atau yang sederajat 15:1;
b. untuk SD atau yang sederajat 20:1;
c. untuk MI atau yang sederajat 15:1;
d. untuk SMP atau yang sederajat 20:1;
e. untuk MTs atau yang sederajat 15:1;
f. untuk SMA atau yang sederajat 20:1;
g. untuk MA atau yang sederajat 15:1;
h. untuk SMK atau yang sederajat 15:1; dan
i. untuk MAK atau yang sederajat 12:1.
Kalau kita cermati berarti guru yang mengajar di sekolah yang rasio kecukupan kurang dari ketentuan, maka tidak akan mendapatkan tunjangan profesi. Sementara di SMP PGRI Karangkosong jumlah rombongan belajarnya 8 x 40 = 320 siswa, jika 320 : 26 = 12,30. Jadi di sekolah tersebut semua gurunya tidak berhak mendapat tunjangan profesi karena rasionya hanya 12 : 1, padahal seharusnya 20 : 1. Oleh karena itu, agar di sekolah tersebut memenuhi rasio 20 : 1 maka maksimal jumlah gurunya 16 orang. Kalau gurunya berlebih, apakah manusiawi jika guru honor tersebut dirumahkan dengan alasan rasio minimal jumlah peserta didik terhadap guru kurang. Dengan demikian, sebaiknya PP 74 tahun 2008 pasal 17 ayat 1 pada bagian penjelasan direvisi.
Bagaimana dengan anggota yang bukan guru dan pengawas? Apakah PGRI hanya lebih memperhatikan yang mayoritas saja. Sementara penilik dan tenaga kependidikan belum diperhatikan. Padahal penilik pun kebanyakan berasal dari guru. Semestinya PGRI mengusulkan adanya tunjangan tenaga kependidikan. Jangan sampai dilihat sebelah mata, mereka pun sama-sama memajukan pendidikan di Indonesia.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa jadi bahan renungan para pengurus PGRI. Selamat berjuang PGRI! Kami kaum lemah masih berharap banyak dari pengurus PGRI.
Penulis: Yamin, S.Pd. M.M.
Minggu, 06 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar