Jumat, 06 November 2009

Eksistensi Ranting di Persimpangan Jalan

Eksistensi Ranting di Persimpangan Jalan
Oleh Yamin, S.Pd. M.M.

Pembentukan ranting merupakan tuntutan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga semua organisasi termasuk PGRI. Hal itu tertuang dalam Anggaran Rumah Tangga bab XI pasal 14. Namun, realitanya sulit untuk dibentuk. Kalaupun ada, terbentuknya tidak melalui mekanisme yang sebenarnya. Hal itu bisa disebabkan:
1. Kecilnya dana iuran untuk ranting.
2. Sedikitnya jumlah anggota di ranting sehingga menyulitkan pelaksanaan bentuk kegiatan yang ada di ranting.
3. Keengganan anggota sendiri untuk membentuk ranting
4. Ketidakseriusan cabang maupun kabupaten untuk membentuk ranting.
5. Ketidaktahuan pengurus cabang dalam tata cara pembentukan ranting.
Dana merupakan rohnya suatu organisasi. Tanpa dana yang cukup maka jalannya roda organisasi mengalami kesulitan. Dalam AD/ART pasal 93 bahwa uang iuran anggota ditetapkan oleh Konferensi PGRI Provinsi, minimal Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah) setiap bulan, dengan rincian pendistribusian untuk :
1. Pengurus Besar PGRI sebesar Rp 200,00
2. Pengurus PGRI Provinsi sebesar Rp 400,00
3. Pengurus Kabupaten/Kota sebesar Rp 600,00
4. Pengurus Cabang dan Ranting sebesar Rp 800,00
Melihat kecilnya iuran yang diperoleh membuat anggota enggan untuk membentuk ranting. Sebenarnya banyak jalan menuju Roma, banyak cara menggalang dana. Sedangkan berdasarkan keputusan Pengurus PGRI Kabupaten Cirebon besarnya iuran Rp 3.500,00 dengan rincian sebagai berikut:
1. Pengurus Besar PGRI sebesar Rp 200
2. Pengurus PGRI Provinsi sebesar Rp 400
3. Pengurus Kabupaten/Kota sebesar Rp 1000
4. Pengurus Cabang sebesar Rp 1.900
Banyaknya jumlah anggota di ranting tidak diatur dalam AD/ART tapi hanyalah wilayahnya saja yaitu wilayah organisasi ranting dapat meliputi satu kelurahan/desa, atau satu unit kerja tingkat kecamatan /satu satuan pendidikan/gugus sekolah. Dengan sedikitnya jumlah anggota di ranting sehingga bisa menyulitkan pelaksanaan bentuk kegiatan yang ada di ranting. Oleh karena itu, sebaiknya kegiatan diadakan di cabang sedangkan penanggung jawab kegiatannya secara bergiliran diserahkan pada ranting.
PGRI Cabang Kecamatan Ciledug pada periode 1999-2004 pernah mengadakan sosialisasi pembentukan ranting kepada anggota. Namun, tanggapannya dingin. Ada yang mengatakan,”Apa keuntungan ranting buat anggota?” Pengurus Cabang mengatakan,” Ini hanyalah tuntutan AD/ART bab XI pasal 14. Tidak ada keuntungan secara finansial, yang ada hanyalah menambah pengalaman dalam berorganisasi dan bersilaturahmi.” Bahkan dalam hatinya ada yang mengatakan, ” Saya tidak mencari pekerjaan tapi penghasilan.” Karena tanggapannya seperti itu, maka banyak Pengurus Cabang dalam membentuk ranting tidak sesuai dengan mekanisme yang sebenarnya.
Ketidakseriusan Pengurus Cabang maupun Kabupaten untuk membentuk ranting sebenarnya dikarenakan ketidakseriusan dari anggota itu sendiri. Anggota belum memahami akan pentingnya keberadaan ranting. Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi tata cara pembentukan ranting kepada anggota. Bila perlu Pengurus PGRI Kabupaten menerbitkan buku Pedoman Pembentukan Ranting. Hal itu, untuk menunjukkan keseriusan Pengurus PGRI Kabupaten dalam membentuk dan menghidupkan ranting-ranting yang mulai kering.
Keberadaan ranting sangat penting karena tidak adanya ranting dapat sedikit mengurangi keabsahan Pengurus PGRI Kabupaten. Kita lihat pasal ART pasal 73 bahwa dalam konferensi PGRI kabupaten, hak suara hanya ada pada utusan ranting dan/atau utusan perwakilan anggota berdasar wilayah desa/kelurahan/satu unit kerja/gugus sekolah.
Pohon yang besar, kuat, dan indah tentu dihiasi pula oleh ranting yang banyak. Begitu pula organisasi PGRI yang kuat dan mengakar butuh pula ranting-ranting yang berdaya. Semoga tulisan ini menjadi renungan kita bersama.

*Penulis, Bendahara PGRI Kecamatan Ciledug.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar